Kamis 07 Sep 2023 10:32 WIB

Uni Eropa Minta Turki Benahi Demokrasi dalam Negeri Sebelum Jadi Anggota

Uni Eropa minta Turki atasi masalah seputar demokrasi dan supremasi hukum

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Bendera nasional Turki berkibar dekat dengan bendera Uni Eropa di Istanbul, Turki.
Foto: EPA-EFE/ERDEM SAHIN
Bendera nasional Turki berkibar dekat dengan bendera Uni Eropa di Istanbul, Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Komisioner perluasan Uni Eropa pada Rabu (6/9/2023), meminta Turki untuk mengatasi masalah seputar demokrasi dan supremasi hukum sebelum bergabung dengan blok tersebut. Ankara mendapatkan janji dari Brussel untuk menghidupkan kembali perundingan keanggotaan Uni Eropa yang terhenti, sebagai imbalan atas pencabutan blokade terhadap upaya Swedia untuk bergabung dengan aliansi militer NATO.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjadikan perbaikan hubungan yang rusak dengan sekutu Barat sebagai salah satu prioritasnya setelah memenangkan pemilu yang sulit pada Mei. Ketua Perluasan Uni Eropa, Oliver Varhelyi datang ke Ankara untuk mencoba dan mengukur sejauh mana kedua pihak dapat menemukan titik temu. Varhelyi mengatakan, dia berharap dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dan positif untuk dibahas oleh para pemimpin blok tersebut dalam pertemuan puncak Dewan Eropa pada bulan Desember.

Baca Juga

“Saya pikir kemitraan ini memiliki potensi yang sangat besar,” kata Varhelyi, dilaporkan Arab News, Rabu (6/9 2023).

Varhelyi mencatat, negosiasi saat ini tersendar dan memerlukan tindakan Turki mengenai masalah hak asasi manusia agar dapat dilanjutkan. “Untuk melakukan remobilisasi, ada kriteria yang sangat jelas untuk ditetapkan, (termasuk) demokrasi dan supremasi hukum,” kata Varhelyi.

Turki pertama kali mengajukan permohonan menjadi anggota Komunitas Ekonomi Eropa atau pendahulu Uni Eropa pada 1987. Turki menjadi negara kandidat Uni Eropa pada 1999, dan secara resmi meluncurkan negosiasi keanggotaan dengan blok tersebut pada 2005.

Pembicaraan terhenti karena kekhawatiran Eropa tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tengah tindakan keras yang dilancarkan Erdogan setelah selamat dari kudeta militer yang gagal pada  2016. Ankara menuduh Brussels tidak pernah secara serius mempertimbangkan keanggotaan negara yang akan menjadi negara mayoritas Muslim terbesar di antaranya blok 27 negara tersebut.

Erdogan secara terbuka telah mengangkat permasalahan yang dilaporkan warga Turki dalam mendapatkan visa turis Eropa. Erdogan menuduh Brussel berusaha mengubah Turki menjadi “gudang” bagi para migran. Turki membantu membendung krisis migran di Eropa dengan menyetujui untuk menampung sementara jutaan warga Suriah dan orang lain yang melarikan diri dari zona perang, dengan imbalan bantuan senilai miliaran euro pada  2016.

Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan menuduh Brussels memberikan hambatan politik pada perundingan aksesi keanggotaan Uni Eropa. “Kami berharap Uni Eropa menunjukkan kemauan yang diperlukan untuk meningkatkan hubungan dan bertindak lebih berani,” kata Fidan.

Ketua Uni Eropa, Charles Michel mengatakan bulan lalu bahwa blok tersebut harus bersiap menerima anggota baru dari Eropa Timur dan Balkan pada 2030. Keanggotaan Turki saat ini tidak termasuk dalam agenda gelombang ekspansi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement