Kamis 07 Sep 2023 12:34 WIB

Mantan Pemimpin Mossad: Israel Sedang Terapkan Sistem Apartheid di Palestina

Israel sedang menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Seorang mantan kepala badan intelijen Israel, Mossad, Tamir Pardo pada Rabu (6/9/2023) mengatakan, Israel sedang menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat.
Foto: AP
Seorang mantan kepala badan intelijen Israel, Mossad, Tamir Pardo pada Rabu (6/9/2023) mengatakan, Israel sedang menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Seorang mantan kepala badan intelijen Israel, Mossad pada Rabu (6/9/2023) mengatakan, Israel sedang menerapkan sistem apartheid di Tepi Barat. Tamir Pardo menjadi mantan pejabat senior terbaru yang menyimpulkan bahwa perlakuan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat sama dengan apartheid, mengacu pada sistem pemisahan ras di Afrika Selatan yang berakhir pada 1994.

Kelompok hak asasi manusia terkemuka di Israel dan luar negeri serta Palestina menuduh Israel dan pendudukannya selama 56 tahun di Tepi Barat, berubah menjadi sistem apartheid. Menurut mereka sistem apartheid memberikan status kelas dua bagi Palestina dan dirancang untuk mempertahankan hegemoni Yahudi dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania.

Baca Juga

Sejumlah mantan pemimpin, diplomat, dan petugas keamanan Israel telah memperingatkan, Israel berisiko menjadi negara apartheid. Namun pernyataan Pardo bahkan lebih blak-blakan.

“Ada negara apartheid di sini. Di wilayah di mana dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum, itu adalah negara apartheid," ujar Pardo.

Pardo menjabat sebagai kepala badan mata-mata rahasia Israel periode 2011-2016. Pardo enggan mengatakan apakah dia memiliki pandangan bahwa Israel adalah negara apartheid saat memimpin Mossad.  Namun Pardo mengatakan, dia yakin salah satu masalah yang paling mendesak di negaranya adalah masalah Palestina, selain program nuklir Iran, yang dipandang oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebagai ancaman nyata.

Pardo mengatakan, sebagai pemimpin Mossad, dia berulang kali memperingatkan Netanyahu bahwa dia perlu memutuskan perbatasan Israel, atau mengambil risiko kehancuran negara bagi orang-orang Yahudi. Tahun lalu, Pardo telah menjadi kritikus vokal terhadap Netanyahu dan upaya pemerintahnya untuk merombak sistem peradilan. Menurut Pardo, hal ini akan membawa Israel menjadi negara diktator.

Pernyataan Pardo mengenai pendudukan militer Israel jarang terjadi di antara para pemimpin gerakan protes akar rumput yang menentang perombakan peradilan. Sebagian besar dari mereka menghindari pembicaraan mengenai pendudukan, karena khawatir akan menakuti lebih banyak pendukung nasionalis.

Pernyataan Pardo, dan perombakan tersebut, muncul ketika pemerintahan sayap kanan Israel, yang terdiri dari partai-partai ultranasionalis yang mendukung aneksasi Tepi Barat, berupaya untuk memperkuat kendali Israel di wilayah tersebut.  Beberapa menteri telah berjanji untuk melipatgandakan jumlah pemukim yang saat ini tinggal di Tepi Barat, yang berjumlah setengah juta jiwa.

Di apartheid Afrika Selatan, sistem yang didasarkan pada supremasi kulit putih dan segregasi rasial berlaku dari 1948 hingga 1994. Kelompok hak asasi manusia mendasarkan kesimpulan mereka terhadap Israel berdasarkan konvensi internasional seperti Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional.  Undang-undang tersebut mendefinisikan apartheid sebagai sebuah rezim terlembaga yang melakukan penindasan dan dominasi sistematis oleh satu kelompok ras terhadap kelompok ras lainnya.

Pardo mengatakan, warga Israel bisa naik mobil dan mengemudi kemanapun mereka mau, kecuali Jalur Gaza yang diblokade. Tapi warga Palestina tidak bisa mengemudi kemanapun. Pardo mengatakan, pandangannya mengenai sistem di Tepi Barat adalah fakta.

Warga Israel dilarang memasuki wilayah Palestina di Tepi Barat, namun dapat berkendara melintasi Israel dan 60 persen wilayah Tepi Barat yang dikuasai Israel.  Sementara warga Palestina memerlukan izin dari Israel untuk memasuki negaranya dan seringkali harus melewati pos pemeriksaan militer untuk dapat berpindah ke wilayah Tepi Barat.

Kelompok hak asasi manusia menyoroti kebijakan diskriminatif di Israel dan di Yerusalem timur yang dianeksasi. Termasuk blokade Israel terhadap Jalur Gaza, yang telah dikuasai oleh kelompok militan Hamas sejak 2007, dan pendudukannya di Tepi Barat. Israel menerapkan kendali menyeluruh atas wilayah tersebut, menerapkan sistem hukum dua tingkat, dan membangun serta memperluas pemukiman Yahudi yang dianggap ilegal oleh masyarakat internasional.

Israel menolak tuduhan apartheid. Israel mengatakan, warga Arabmempunyai hak yang sama.  Israel memberikan otonomi terbatas kepada Otoritas Palestina yang diakui secara internasional dalam puncak proses perdamaian pada 1990an dan menarik tentara, serta pemukimnya dari Gaza pada 2005. Israel mengatakan, Tepi Barat adalah wilayah yang disengketakan dan nasibnya harus ditentukan dalam negosiasi.

Pardo memperingatkan, jika Israel tidak menetapkan perbatasan antara mereka dan Palestina, maka eksistensi Israel sebagai negara Yahudi akan terancam. Para ahli memperkirakan jumlah orang Arab akan melebihi jumlah orang Yahudi di Israel ditambah wilayah yang direbutnya pada tahun 1967 yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur.  Pendudukan yang terus berlanjut dapat memaksa Israel mengambil pilihan yang sulit, antara meresmikan pemerintahan minoritas Yahudi atas warga Palestina yang kehilangan haknya, atau memberi mereka hak untuk memilih dan berpotensi mengakhiri impian Zionis akan tanah air Yahudi di wilayah bersejarah Palestina.

“Israel perlu memutuskan apa yang diinginkannya.  Negara yang tidak memiliki perbatasan tidak mempunyai batas,” kata Pardo.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement