REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Shalat adalah salah satu kewajiban bagi setiap individu Muslim, tidak tergantung pada kondisi ruang dan waktu. Meskipun demikian, dalam realitas kehidupan manusia, seringkali ada kendala yang membuat seseorang sulit untuk menjalankan shalat dengan sempurna.
Contohnya, seseorang mungkin berada dalam perjalanan, berada di atas perahu, atau bahkan berada dalam situasi yang sangat sibuk seperti walimatul 'arusy (resepsi pernikahan) yang selalu dihadiri oleh tamu-tamu. Oleh karena itu, dalam konteks fiqih (ilmu hukum Islam), konsep jamak shalat diajarkan.
Dilansir NU Online pada Jumat (8/9/2023), Deputi Sekretaris Jenderal PBNU, ustaz Ulil Abshar Hadrawi menulis bahwa jamak shalat merujuk pada pelaksanaan dua jenis shalat yang berbeda dalam satu waktu, disebabkan oleh alasan tertentu. Namun, perlu dicatat bahwa para ulama fiqih memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang alasan-alasan yang memungkinkan jamak shalat.
Beberapa ulama fiqih hanya memperbolehkan jamak shalat ketika seseorang sedang dalam keadaan bepergian jauh (musafir). Namun, ada juga ulama seperti Ibnu Sirrin, al-Qaffal, dan Abu Ishaq al-Marwazy yang memperbolehkan jamak shalat bahkan jika seseorang berada di rumah, asalkan keadaannya sangat sibuk dan ini bukan menjadi kebiasaan.
Sebagai contoh, jamak shalat dapat diperbolehkan bagi pasangan pengantin baru yang sedang mengadakan walimatul 'arusy (resepsi pernikahan) dan selalu menerima tamu yang datang. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam Syarah Muslim lin Nawawi. Sejumlah imam menyatakan bahwa menjalankan shalat jamak di rumah dapat diperbolehkan jika ada keperluan khusus yang membuat seseorang tidak dapat menjadikannya sebagai kebiasaan.
Pendapat ini disuarakan oleh Ibnu Sirrin, yang merupakan pengikut Imam Malik, al-Qaffal, As-Syasyi al-Kabir dari kalangan as-Syafi'i, dan Abu Ishaq al-Marwazi dari kalangan ahlul hadits. Pendapat-pendapat ini telah dipilih oleh Ibnu Mundzir dalam konteks penjelasan mengenai hukum jamak shalat.