REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN pada 5-7 September di Jakarta. KTT ASEAN kali ini mengambil tema ASEAN Matters Epicentrum of Growth, yang dihadiri 22 negara, yakni 11 negara ASEAN, yakni Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, dan Timor Leste. Kemudian, ada sembilan negara yang mitra yang diundang di antaranya Republik Korea, India, Jepang, RRT, New Zealand, Kanada, Australia, Rusia, dan Amerika Serikat (AS).
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Dafri Agussalim, mengatakan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di Jakarta bisa menjadi momentum bagi Bangsa Indonesia untuk menunjukkan pengaruh kepemimpinan RI dalam hubungan internasional. Sebab posisi Indonesia menjadi Ketua ASEAN diharapkan bisa menjembatani untuk menawarkan solusi bagi konflik di Myanmar dan penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan dengan negara Cina. Di samping itu juga membawa misi untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam perdagangan dunia setelah digugat oleh Uni Eropa di WTO terkait kebijakan hilirisasi pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri.
“Kawasan ASEAN ini menjadi ajang persaingan dari negara-negara besar untuk memperebutkan pengaruh ekonomi, politik dan keamanan. Tidak heran, banyak negara (di luar ASEAN) yang hadir untuk kepentingan mereka,” kata Dafri, Kamis (7/9/2023).
Meskipun ASEAN menjadi daya tarik bagi negara besar, namun Dafri menilai ASEAN belum mampu mengatasi konflik yang terjadi di kawasan regionalnya sendiri. Dosen Fisipol UGM ini menyebutkan sengketa politik yang berlarut-larut dan kasus pelanggaran HAM di negara Myanmar hingga sekarang ini belum tuntas. "Sudah ada konsensus yang dihasilkan oleh ASEAN untuk penyelesaian konflik Myanmar namun belum bisa diimplementasikan dengan baik, belum lagi soal sengketa Laut Cina Selatan,” ujarnya.
Salah satu kelemahan ASEAN menurut Dafri adalah tidak mampu mengeksekusi dan mengimplementasi setiap deklarasi dan komitmen bersama yang dibuat. Pasalnya, intervensi sesama negara ASEAN untuk menangani masalah internal di salah satu negara anggota ASEAN lainnya dianggap melanggar prinsip kerja sama ASEAN
"Setiap hasil deklarasi dan joint statement bersifat tidak mengikat secara hukum sehingga implementasinya sulit diwujudkan. Seharusnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN ini bisa mengatasi kelemahan ini dimana setiap keputusan ASEAN itu bisa berbasis hukum atau norma yang harus ditaati dan diikuti bersama," katanya.
Kembali soal penyelenggaraan KTT ASEAN ke-43, Dafri menilai penyelenggaraannya cukup sukses karena mampu mendatangkan para kepala negara dari negara maju di luar ASEAN yang selama ini dianggap sebagai mitra strategis ASEAN.”Kita ingin menjadikan kawasan ASEAN ini bisa menjadi pusat pertumbuhan dunia dan kita menjad pemain utama dengan posisi penting kita di Indo-Pasifik,” katanya.
Dalam periode kepemimpinan Indonesia di ASEAN sekarang ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat kohesivitas dan solidaritas antar anggota ASEAN untuk bisa menyelesaikan berbagai isu strategis seperti penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan dan konflik internal negara anggota ASEAN.