REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan menyampaikan, fenomena El Nino diprediksi bertahan sampai pertengahan tahun depan.
"El Nino mencapai nilai di bawah 0,5 derajat Celsius sekitar Mei 2024," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Eddy menjelaskan El Nino adalah fenomena global yang terjadi hampir di seluruh negara yang terletak pada garis ekuator, salah satunya Indonesia. El Nino disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan yang berada di Samudera Pasifik terutama bagian tengah.
Suhu permukaan laut merangkak naik di atas 0,5 derajat Celsius sekitar Mei 2023 dan mencapai puncak antara November atau Desember 2023. Ketika El Nino sudah mencapai puncak, maka El Nino akan meluruh kembali sekitar Mei 2024.
"Bila melihat catatan sebelumnya, El Nino punya durasi panjang antara sembilan hingga 12 bulan. Jadi, fenomena ini adalah wajar," kata Eddy.
Dia mengungkapkan sebelum El Nino tahun ini, sudah ada La Nina yang berlangsung sekitar 30 bulan terhitung sejak Agustus 2020 hingga akhir Januari 2023. Kala itu musim kemarau yang terjadi di Indonesia cenderung basah karena efek La Nina. Hujan sering turun, bahkan saat musim kering.
Namun, El Nino yang sekarang terjadi justru kebalikan dari La Nina yang membuat musim hujan pada Desember, Januari, dan Februari cenderung lebih kering. Kondisi ini membuat musim kemarau terasa lebih panjang yang seharusnya hanya sekitar tiga bulan menjadi sembilan bulan.
"Nanti Desember, Januari, dan Februari mestinya kita musim hujan, tetapi karena ada El Nino kita mengalami musim kemarau. Bisa dikatakan hujan hanya rintik-rintik saja atau hanya berlangsung selama satu hingga dua hari saja," kata Eddy.
Eddy menyerukan penghematan air secara besar-besaran. Selain itu, mengganti tanaman padi menjadi palawija sebagai bentuk mitigasi menghadapi musim kemarau panjang akibat fenomena El Nino.