REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengkritisi pemanggilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar. Sebab, pemanggilan tersebut terasa janggal karena baru dilakukan setelah adanya deklarasi Muhaimin menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) dari Anies Rasyid Baswedan.
Wajar jika publik menilai, KPK saat ini terkesan menjadi alat politik untuk menjegal lawannya. Hal tersebut semakin dikuatkan oleh survei dari lembaganya, yang menunjukkan 53,4 persen publik percaya bahwa lembaga penegak hukum adalah alat untuk menghambat lawan politik.
"Temuan data terbaru dari Voxpol Center Research and Consulting menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat, 53,4 persen percaya bahwa hukum seringkali digunakan sebagai alat untuk menjegal kandidat tertentu/lawan politik," ujar Pangi lewat keterangannya, Kamis (7/9/2023).
"Persepsi semacam ini semakin mempercepat merusak kepercayaan atau level confidence masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas dan keadilan dalam masyarakat," sambungnya.
Ia bertanya kepada KPK, apakah ada alasan khusus untuk melakukan pemanggilan Muhaimin saat ini. Mengingat kasus tersebut sudah berjalan selama sekira 12 tahun, di mana tak ada pernyataan atau gerakan dari lembaga antirasuah itu sebelum Muhaimin dideklarasikan sebagai bakal cawapres dari Anies.
Hal tersebut semakin aneh, ketika pemanggilan serupa tak dilakukan oleh KPK ketika PKB dan Muhaimin masih bersama Partai Gerindra di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Koalisi tersebut sudah berjalan selama setahun dan KPK tak melakukan apapun saat itu terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
"Saya rasa wajar masyarakat mencium ada aroma amis dalam agenda penegakan hukum kita. Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum semata, melainkan juga memerlukan pemahaman atas konteks yang lebih luas," ujar Pangi.
Survei Voxpol sendiri dilakukan pada 24 Juli hingga 2 Agustus 2023 dengan menggunakan metode multistage random sampling. Jumlah sampel dalam survei sebanyak 1.200 responden dengan toleransi kesalahan atau margin of error sekira 2,83 persen.
Meski KPK memanggil Muhaimin sebagai saksi, publik tetap akan melihat bahwa upaya tersebut merupakan bentuk politisasi hukum. Ketika perangkat hukum dijadikan sebagai alat untuk menjegal lawan politiknya.
"Ini hanya soal persepsi dan asumsi yang ditanamkan di benak publik, bagaimana cara menstempel bahwa pasangan Anies tidak bersih. Ujungnya nanti juga akan punya korelasi linear terhadap racikan elektoral capres-cawapres, jadi ujungnya hanya desain soal pasangan capres-cawapres yang dicap tidak bersih," ujar Pangi.