Jumat 08 Sep 2023 09:04 WIB

Larangan Abaya Pengalihan Isu dari Buruknya Sistem Pendidikan Prancis?

Perdebatan larangan abaya mengalihkan masalah nyata dalam sistem pendidikan Prancis

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Larangan abaya di sekolah telah menjadi topik yang mengalihkan perhatian dari masalah lain dalam sistem pendidikan Prancis, seperti kekurangan guru dan ruang kelas yang penuh sesak.
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Larangan abaya di sekolah telah menjadi topik yang mengalihkan perhatian dari masalah lain dalam sistem pendidikan Prancis, seperti kekurangan guru dan ruang kelas yang penuh sesak.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS --  Larangan abaya di sekolah telah menjadi topik yang mengalihkan perhatian dari masalah lain dalam sistem pendidikan Prancis, seperti kekurangan guru dan ruang kelas yang penuh sesak. Larangan abaya berlaku mulai Senin (4/9/2023) ketika tahun ajaran dimulai.

Dari 12 juta siswa di seluruh negeri, 298 di antaranya datang ke sekolah dengan mengenakan abaya kendati ada larangan. Sementara 67 siswi lainnya menolak melepas abaya mereka.

Baca Juga

Larangan abaya bukanlah perdebatan baru di Perancis. Namun, hal ini telah mendominasi agenda berita Perancis selama beberapa waktu. Perdebatan mengenai larangan abaya telah mengalihkan masalah nyata dalam sistem pendidikan.

Sekretaris Jenderal serikat pekerja Snes-FSU, Sophie Venetitay, mengatakan kepada penyiar France Inter, debat mengenai larangan abaya mengalihkan isu kekurangan guru dan kelas yang penuh sesak. Namun, Presiden Emmanuel Macron dan menteri pendidikan telah berjanji bahwa setiap kelas akan memiliki seorang guru.

Staf di sekolah-sekolah yang paling bermasalah akan melakukan pemogokan dalam beberapa hari mendatang untuk memprotes kurangnya sumber daya. Serikat guru juga menyerukan gaji yang lebih baik. Menurut laporan yang diterbitkan pada 2022, gaji rata-rata guru bahasa Prancis dengan pengalaman 15 tahun, 19 persen lebih rendah dibandingkan gaji rata-rata di negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Sekelompok guru dan staf di Sekolah Menengah Maurice-Utrillo di Stains mengorganisir pemogokan dan demonstrasi menentang larangan abaya.  Siswa dan orang tua ikut berunjuk rasa di depan sekolah.

Staf membacakan pernyataan yang mengatakan sistem sekolah Prancis termasuk yang paling tidak setara di antara negara-negara OECD. Pernyataan tersebut mencatat bahwa, alih-alih mengatasi kesenjangan, pemerintah malah melarang abaya dan jubah pria yang disebut qamis.

Myriam, anggota Komunitas Abayama Do Not Touch, mengatakan kepada Anadolu Agency, larangan abaya "menganiaya” gadis Muslim dan melanggar kebebasan serta bersifat diskriminatif dan Islamofobia. Saat ini, gadis-gadis Muslim diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement