Jumat 08 Sep 2023 19:01 WIB

Kemenag Tolak Sebut tempat BAA Diduga Lecehkan Pelajar Sebagai Pesantren

Pesantren memiliki sejumlah kriteria yang harus terpenuhi.

Rep: S Bowo Pribadi/ Red: Erdy Nasrul
Lindungi anak korban pelecehan seksual (ilustrasi)
Foto: Unsplash
Lindungi anak korban pelecehan seksual (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG—Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Semarang menyebut tempat aktivitas BAA (46) di lingkungan RT 03/ RW 04 Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang lebih layak disebut tempat persembunyian.

Bahkan untuk dikatakan sebagai tempat berkegiatan majelis taklim pun –sebenarnya—juga sangat tidak layak, karena bangunannya yang tidak seberapa luas dan –meski konstruksinya dua lantai-- ruangnya juga terlalu sempit.

Baca Juga

“Maka kami tegaskan, ini bukan pondok pesantren,” ungkap Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag Kota Semarang, Tantowi Jauhari, saat meninjau lokasi di lingkungan Kelurahan Lempongsari, Kota Semarang, Jumat (8/9). 

Sebelumnya, BAA diberitakan menjalani proses hukum karena diduga terlibat aksi pemerkosaan terhadap beberapa pelajar yang menjalani pendidikan di lembaga tempatnya mengajar. Kemenag menolak menyebut tempat BAA mengajar sebagai pesantren, karena unsur-unsur kepesantrenan tidak terdapat di dalam kegiatannya.

Karena bukan pondok pesantren, menurut Tantowi, Kantor Kemenag Kota Semarang tidak mempunyai kewenangan apa- apa, kecuali para pemangku wilayah di lingkungan Keluarahan Lempongsari dan seterusnya hingga Muspida Kota Semarang.

Karena untuk pondok, paling tidak ada tempat untuk mengaji, ada tempat beribadah berupa mushala atau masjid. Kemudian ada kitab kuning, ada santri yang mukim dan ada kiai (pengasuh) dan penangungjawab operasional dan kegiatan di pondok.

Untuk menjadi seorang kiai pun ada tahapn- tahapannya dan tidak bisa ‘ujug- ujug’ bisa disebut sebagai seorang kiai. Misalnya dari ‘Gus’terlebih dahulu dan ada proses- proses sebelum kemudian disebut sebagai kiai.

Dan yang tidak kalah penting adalah punya sanad atau asal- usul seperti dulu mondoknya di mana, gurunya siapa, atau anak dari kiai siapa. “Nah, di sini itu semua tidak terpenuhi dan sosok BAA itu siapa kami juga bingung, tidak tahu,” kata Tantowi.

Sementara itu, Lurah Lempongsari, Dilinov Kamarullah menambahkan, dari sisi pemangku lingkungan sepengetahuannya BAA ini tercatat sebagai warga Rejosari yang membeli rumah di Lempongsari untuk Kegiatan kumpulan mengaji.

Laporan maupun catatan tempat tersebut kemudian menjadi pondok pesantren juga tidak ada di Kelurahan. Jadi secara fisik bangunan, legalisat maupun informasi yang beredar di lingkungan juga tidak ada pondok pesantren.

Bahkan papan nama bahwa tempat tersebut merupakan pondok pesantren juga tidak ada. “Kalau kemudian di Google Map muncul nama pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi bisa saja memang BAA menamai sendiri,” jelasnya.

Jadi selama ini memang tidak ada izin atau pemberitahuan apapun kepada pihak Kelurahan Lempongsari. Kebetulan juga saat masuk di Kelurahan Lempongsari tahun 2018, tempat itu juga sudah ada.

“Kalaupun ada aktivitas keagamaan di tempat itu, hanya seperti pengajian biasa, sehingga lingkungan juga menganggapnya hal yang wajar, cuma pengajian pada umumnya,” kata Kamarullah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement