Ahad 10 Sep 2023 21:00 WIB

Perjuangan Panjang Tujuh Tahun Demi 75 Menit Film Dokumenter Angklung

Produksi film The Journey: Angklung Goes to Europe menghadapi berbagai kendala.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Irfan Fitrat
Kegiatan premier film dokumenter
Foto: Republika/Dea Alvi Soraya
Kegiatan premier film dokumenter "The Journey: Angklung Goes to Europe" di Cinepolis Istana Plaza, Kota Bandung, Jawa Barat, Ahad (10/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Maulana M Syuhada mengaku tak pernah membayangkan dapat menyutradarai pembuatan film dokumenter. Namun, dengan semangat dan dukungan dari berbagai pihak, pria yang akrab disapa Kang Maul itu akhirnya bisa menyuguhkan film “The Journey: Angklung Goes to Europe”.

Film dokumenter dengan durasi 75 menit itu mulai digarap sejak sekitar tujuh tahun lalu. Film tersebut mengabadikan perjalanan dan perjuangan para anak muda bangsa dalam misi mengenalkan angklung di Eropa.

Baca Juga

Menurut Kang Maul, bermula dari kesempatan yang didapat tim Muhibah Angklung untuk mengikuti Folklore Festival, salah satu festival seni tertua dan terbesar di Eropa. Awalnya, ia mengaku ingin membuat film fiksi, dengan merujuk pada buku yang dibuatnya, 40 Days in Europe. Namun, keinginan itu terkendala keterbatasan dana. 

“Jadi, awalnya kita berangkat karena diterima di festival dan saya pikir, wah kayaknya bagus nih kalau dibikin filmnya gitu. Tapi, kalau bikin film fiksi, biasanya mahal. Makanya kita beralih ke film dokumenter,” ujar Kang Maul, saat kegiatan Premier film The Journey di Cinepolis Istana Plaza, Kota Bandung, Ahad (10/9/2023).

Kang Maul mengaku ada keterbatasan dana. Untuk pengambilan gambar film dokumenter itu pun, kata dia, hanya mengandalkan satu kameramen dengan alat seadanya. Kang Maul mengandalkan pada kreativitas dan kemampuan dari sang juru gambar, Ihsan A Achdiat, yang pernah menjuarai kompetisi Forum Film Dokumenter (FFD). 

“Jadi, shot-shot yang diambil, semuanya diambil pakai handycam. Saya juga enggak punya pengalaman dan enggak punya uang juga. Jadi, cuma ngajak sobat saya saja sih, Ihsan Achdiat. Kebetulan dia pembuat film dokumenter, pernah jadi juara 3 di FFD, jadi dia memang proper secara kompetensi,” ujar Kang Maul, yang merupakan ketua tim Muhibah Angklung itu.

Bukan hanya pengambilan gambar, kendala pun dihadapi saat pengeditan. Kang Maul mengaku tidak memiliki kemampuan mumpuni. Ia mengaku sempat kebingungan untuk mengolah kumpulan rekaman video yang total berdurasi sekitar sepuluh jam.

“Begitu mau ngedit, susah setengah mati. Ada footage empat TB (terabyte), sekitar sepuluh jam, dan untuk merangkainya menjadi cerita berdurasi 75 menit itu susah banget,” kata Kang Maul.

Untuk menuntaskan penggarapan film dokumenter itu, Kang Maul mengatakan, pihaknya mengikuti sejumlah kegiatan yang menghadirkan mentor pembuat film kelas internasional. “Kita datang dari satu lab ke lab lain untuk mendapatkan arahan dari mentor-mentor filmmaker internasional. Mungkin mereka (mentor) ketawa karena kami kayak orang yang tersesat di hutan begitu,” ujar dia.

Setidaknya ada empat kegiatan lab dan pitching forum internasional yang diikuti, yaitu Docs By The Sea (pada 2017 dan 2021), Master Class FFD Jogja (2016), dan LOCK-Full Circle Lab Jakarta (2019). Mentor internasional yang hadir, antara lain Niels-Pagh Andersen, Iikka Vehkalahti, Sebastian Winkels, dan John Appel. “Jadi, ya ini memang prosesnya panjang. Banyak tantangan dan hambatan pastinya,” ujar Kang Maul. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement