REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mona Lisa bukan hanya karya seni yang tak ternilai harganya, tetapi berkat tangannya, lukisan ini sekarang membantu mengobati kolesterol tinggi. Dalam lukisan klasik Leonardo da Vinci, tangan Mona Lisa menunjukkan tanda-tanda kondisi yang disebut xanthomas, yang mengisyaratkan adanya hiperkolesterolemia familial (familial hypercholesterolemia/FH).
Kelainan genetik ini, yang mempengaruhi sekitar 1 dari 200 orang dewasa, menurut American Heart Association, menyebabkan peningkatan kadar kolesterol jahat dalam darah. Sehingga membuat seseorang berisiko terkena penyakit kardiovaskular.
FH terkait dengan mutasi pada reseptor lipoprotein densitas rendah (LDL-R), yang biasanya membantu mengatur kolesterol. Mutasi ini menghalangi kemampuan hati untuk mengatur kadar kolesterol, sehingga menyebabkan peningkatan kolesterol dalam aliran darah. Meskipun statin, yang meningkatkan kadar LDLR, biasanya diresepkan untuk mengobati kolesterol tinggi, statin tidak efektif untuk semua orang, terutama mereka yang memiliki mutasi FH tertentu.
Namun, para peneliti di Medical University of South Carolina (MUSC) telah membuat terobosan dengan menyaring senyawa yang dapat mengurangi sekresi apolipoprotein B (apoB), atau protein partikel LDL utama, dari sel hati. Dengan menguji South Carolina Compound Collection, yang terdiri dari sekitar 130 ribu senyawa, mereka mengidentifikasi sekelompok molekul yang menurunkan sekresi apoB dan kadar kolesterol. Temuan ini dapat membuka jalan bagi pengobatan FH yang baru.
"Pendekatan kami adalah cara asli dalam melakukan farmakologi, yaitu mencoba menemukan obat yang dapat memperbaiki penyakit tanpa mengetahui bagaimana obat tersebut dapat memperbaikinya," kata Stephen Duncan, seorang profesor sekaligus SmartState Endowed Chair di Departemen Pengobatan Regeneratif dan Biologi Sel di MUSC.
"Anda membuat model penyakit, dan kemudian dapat menskrining obat untuk mencari tahu mana yang berhasil. Kemudian Anda dapat mengetahui secara retrospektif bagaimana obat tersebut berfungsi,” tambah Duncan seperti dilansir Study Finds, Selasa (12/9/2023).
Namun, setelah menguji senyawa-senyawa ini pada tikus, mereka terbukti tidak efektif. Pengamatan yang lebih dekat menunjukkan bahwa sel-sel hati tikus resisten terhadap senyawa tersebut. Untuk mengatasi hal ini, para peneliti menggunakan tikus Avatar atau tikus dengan hati yang terbuat dari sel manusia. Model ini memungkinkan senyawa bekerja secara efektif.
"Hasilnya menunjukkan bahwa kita dapat menggunakan sel punca manusia sebagai sistem untuk memodelkan penyakit, menyelesaikan proses penemuan obat dan menemukan obat yang berpotensi dapat digunakan untuk mengobati pasien. Itu menunjukkan cara yang sangat layak untuk melakukan penemuan obat dengan menggunakan sistem manusia,” kata Duncan.
Meskipun temuan ini menjanjikan, masih banyak penelitian yang harus dilakukan. "Menemukan target obat dan menunjukkan mekanisme kerjanya merupakan prioritas utama dari studi lanjutan," jelas Duncan.