REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Ikatan Alumni Pondok Pesantren Ibadurrahman YLPI Tegallega Sukabumi, Jawa Barat, Toto Izul Fatah, menilai usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengontrol rumah ibadah adalah tindakan yang dinilai offside. Langkah ini selain berpotensi melanggar konstitusi jaminan kebebasan beragama, juga sangat rawan mengundang keresahan umat beragama.
“Tak ada urgensi sama sekali menerapkan kebijakan untuk mengontrol rumah ibadah, khususnya masjid,” kata Toto Izul Fatah, dalam siaran persnya, Rabu (13/9/2023).
Pernyataan ini merupakan tanggapan atas usulan Kepala BNPT, Rycko Amelza, yang disampaikan saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI awal pekan lalu. Rycko beralasan, usulan itu antara lain hasil dari studi banding di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Oman. Tujuannya, untuk mencegah potensi berkembang biaknya radikalisme dan promosi kebencian di tempat ibadah.
Dijelaskan Toto, masjid memiliki nilai historis yang sudah melekat dengan umat Islam di Indonesia. Bahkan, masjid telah menjadi bagian yang menyumbang tumbuhnya spirit kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dalam kontek itulah, Toto yang juga peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, ini berharap BNPT tidak buang energi untuk sesuatu yang tidak perlu. Apalagi, hanya akan merusak spirit persatuan umat beragama yang selama ini baik-baik saja.
Toto mengaku setuju perlunya mencegah dan mengatasi berkembang biaknya benih benih radikalisme, ekstremsime, dan terorisme. Tapi, solusinya harus dengan cara yang cerdas, arif, bijak, dan konstruktif.
“BNPT jangan seperti tak ada kerjaan atau kehilangan kerjaan. Harusnya buat konsep yang cerdas untuk dijadikan sebagai usulan sebuah kebijakan. Jangan buat kebijakan kontraproduktif yang malah mengundang keresahan dan kegaduhan di masyarakat, khususnya di kalangan umat beragama,” katanya.
BNPT sebaiknya tidak membuat generalisasi terhadap seluruh tempat beribadah. Jika ditemukan ada satu dua masjid yang terbukti dijadikan tempat bersemainya radikalisme, harusnya BNPT sudah punya mekanismenya standar sesuai dengan tugas dan fungsinya yang tidak melanggar konstitusi.
Karena itulah, menurut Toto, dalam membuat sebuah kebijakan, BNPT seharusnya mulai dengan data. Misalnya, berapa masjid di Indonesia ini yang sudah dianggap menyemai benih radikalisme dan terorisme. "Jangan hanya karena satu kasus seperti yang diungkap salah satu anggota DPR tentang adanya karyawan PT KAI yang terpapar radikalisme, lalu seluruh masjid harus dicurigai dan dikontrol,” kata Toto.
BNPT sebaiknya juga transparan menjawab sejumlah pertanyaan publik tentang pelaku terorisme. "Misalnya pertanyaan, apakah betul mereka itu bersumber dari masjid? Apakah betul mereka menjadi teroris itu setelah mendengar ceramah ustad atau kiai di masjid? Bukankah para pelaku teroris itu kebanyakan mereka yang dangkal pemahaman agamanya karena justru jarang ke masjid?” tanya Toto.
Yang pasti, kata Toto, jika BNPT serius ingin mengatasi radikalisme dan terorisme, selain mulai dengan data, juga harus mulai melibatkan para stakeholder, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, dan ormas lainnya.
Lembaga-lembaga ini, menurut Toto, harus diberi akses untuk bisa bertemu para pelaku teroris itu. Tujuannya, selain mengungkap aneka motivasi mereka menjadi teroris, juga mengungkap aneka latar belakangnya, mulai dari tingkat pendidikan, usia, penghasilan, pekerjaan, dan lain-lain. Termasuk, latar belakang rumah tangganya, bahkan kondisi kejiwaannya.
“Dari situlah kita punya data dan peta para pelaku teroris. Sehingga, BNPT bersama para stakeholder tadi bisa merumuskan bersama konsep apa yang seharusnya disiapkan untuk mencegah terorisme itu. Sekarang ini jujur kita tidak tahu, karena semua informasi tentang terorisme sumbernya hanya dari polisi,” kata Toto.
Dengan berbekal data yang lengkap tadi, menurut Toto, BNPT tak lagi membuat usulan yang asal-asalan. Karena sumber terorisme itu belum tentu dari masjid. Bisa jadi bersumber dari pemahaman dangkal lewat Youtube. Atau bisa jadi terorisme di Indonesia itu tak selalu berkaitan dengan pemahaman agama.