REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia akhirnya meluncurkan sistem perbankan syariah untuk pertama kalinya sebagai bagian dari proyek percontohan pada 1 September 2023. Lembaga keuangan ini akan melayani sekitar 25 juta warga Muslim Rusia.
Sebenarnya, selama ini lembaga keuangan Islam telah ada di Rusia, namun sistem perbankan syariah ini adalah merupakan kali pertama diresmikan menjadi undang-undang negara.
Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani undang-undang yang memperkenalkan perbankan syariah pada awal Agustus lalu. Landasan hukum ini menjadi rujukan kebijakan untuk menilai kelayakan menjalankan bank syariah di Rusia.
Untuk tahap awal, proyek percontohan akan dijalankan di empat wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim yakni Tatarstan, Bashkortostan, Chechnya, dan Dagestan. Kabar baiknya, jika program ini terbukti berhasil, rencananya adalah memperkenalkan peraturan baru tersebut ke seluruh negeri.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Ahli Keuangan Islam Rusia Madina Kalimullina berharap sistem perbankan syariah dapat mengembangkan “pembiayaan berbasis aset dan hubungan kemitraan pembagian risiko. Adapun kelompok pertama yang mendapat manfaat dari pasar baru ini adalah usaha kecil dan menengah, yang seringkali kekurangan dana.
"Keuangan syariah, seperti diketahui, lebih berorientasi pada pembiayaan ekonomi riil dengan produk ekonomi riil,” kata Kalimullina dikutip dari Al Jazeera, Selasa (12/9/2023).
Lebih lanjut ia menjelaskan, sistem keuangan syariah menjalankan sistem hubungan berbasis kemitraan, hal ini jarang terjadi dalam keuangan konvensional. Adapun hal utama dalam perbankan syariah adalah landasan sistem hukum Islam yang melarang transaksi yang melibatkan riba, atau membebankan bunga karena dianggap sebagai pertukaran yang tidak adil.
Karena, dalam pembiayaan konvensional semuanya berbasis utang dan nasabah menanggung seluruh risiko dan kewajiban dalam transaksi. Sementara untuk perbankan syariah adalah berbasis aset, dengan keuntungan dan risiko dibagi antara lembaga keuangan dan nasabah sebagai bagian dari kemitraan.
"Tidak ada bank yang mendapatkan keuntungan dari masalah keuangan klien dan kebangkrutan yang sering terjadi dalam keuangan konvensional,”ujarnya.
Kalimullina menambahkan, perbankan syariah juga tidak membiayai sektor-sektor yang haram dan merugikan masyarakat seperti alkohol, tembakau, dan perjudian. Perbedaan utama lainnya adalah perbankan syariah tidak mengizinkan spekulasi pembiayaan, derivatif keuangan, atau “transaksi tanpa aset nyata”, yang sebelumnya telah memicu krisis keuangan global.
Sektor perbankan syariah diprediksi akan memiliki tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 40 persen dan diperkirakan akan mencapai nilai 7,7 triliun dolar AS pada tahun 2025. Kalimullina mengatakan, dengan pertumbuhan pasar yang sedang berkembang tersebut akan membutuhkan regulasi dan perlindungan investor dan klien.
Namun, pasar keuangan Islam tidak dapat memanfaatkan manfaat dari program dukungan negara untuk pembiayaan hipotek dan usaha kecil dan menengah karena semuanya berlandaskan pada pinjaman berbunga dan itu bertentangan dengan syariah.
"Hambatan-hambatan ini sebagian diselesaikan untuk pembiayaan hipotek dalam undang-undang yang diadopsi. Eksperimen ini diharapkan dapat mengembangkan kondisi lebih lanjut untuk pengembangan keuangan Islam,” kata Kalimullina.
Akademisi di Universitas Oxford Inggris Diana Galeeva menilai, perbankan Islam adalah “sebuah inisiatif yang telah lama ditunggu-tunggu”, dan bahkan telah dibahas di Rusia sejak krisis keuangan tahun 2008. Saat itu, bank menghadapi kekurangan likuiditas dan mulai mencari sumber uang tunai alternatif.
Setelah itu menyusul aneksasi Krimea dari Ukraina pada tahun 2014, ketika bank-bank Rusia merasakan tekanan dari sanksi-sanksi Barat. Bahkan, Asosiasi Bank-Bank Rusia mengusulkan untuk mengizinkan perbankan syariah di Federasi Rusia dan membentuk sebuah komite di dalam Bank Sentral untuk mengatur aktivitas bank-bank syariah. Perang di Ukraina dan tekanan Barat terhadap sektor ekonomi Rusia juga menjadi pendorong proses peralihan ke perbankan syariah.
“Setiap gelombang krisis baru dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong Rusia untuk semakin menjauh dari Barat dan beralih ke Timur, yang dalam banyak kasus berarti hubungan yang lebih besar dengan perekonomian negara-negara mayoritas Muslim,” kata Galeeva.