Kamis 14 Sep 2023 08:01 WIB

30 Tahun Perjanjian Oslo, Prospek Perdamaian Israel-Palestina Masih Suram

Menurut PBB sekitar 700 ribu pemukim Yahudi menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah bom yang dilemparkan oleh warga Palestina meledak di samping kendaraan tentara Israel saat serangan militer di kamp pengungsi Jenin, kubu militan, di Tepi Barat yang diduduki, Selasa, (4/7/2023).
Foto: AP Photo/Majdi Mohammed
Sebuah bom yang dilemparkan oleh warga Palestina meledak di samping kendaraan tentara Israel saat serangan militer di kamp pengungsi Jenin, kubu militan, di Tepi Barat yang diduduki, Selasa, (4/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM - Seberang wilayah pendudukan Tepi Barat, pos pemeriksaan beton, tembok pemisah, dan tentara terlihat jelas. Pemandangan itu menjadi pengingat akan kegagalan membangun perdamaian antara Israel dan Palestina sejak Perjanjian Oslo yang bersejarah ditandatangani 30 tahun lalu.

Perjanjian itu awalnya dimaksudkan sebagai langkah sementara untuk membangun kepercayaan dan menciptakan ruang bagi perjanjian perdamaian permanen. Namun, upaya ini telah lama membeku menjadi sebuah sistem untuk mengelola konflik tanpa terlihat adanya akhir.

Baca Juga

Ketika Tepi Barat berada dalam kekacauan, pemerintahan nasionalis di Israel yang menolak segala prospek pembentukan negara Palestina. “Kita berada di akhir sebuah era baik di Palestina maupun Israel dan mungkin di kawasan secara keseluruhan,” kata Hanan Ashrawi, seorang aktivis sipil dan mantan juru bicara delegasi Palestina untuk proses perdamaian pada 1990-an.

“Seluruh generasi, era pembicaraan tentang saling pengakuan, dua negara, negosiasi penyelesaian, resolusi damai akan segera berakhir di Palestina,” katanya.