REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Adopsi motor listrik di Indonesia mengalami lonjakan signifikan selama dua tahun terakhir, bertumbuh sebesar 15 kali lipat dari 2020 hingga 2022. Tetapi untuk penyebarannya masih menjadi hambatan, lantaran terkendala baterai dan jarak tempuh.
Hal tersebut akan diulas lebih lanjut dalam riset electric vehicle white paper bertajuk An Electric Revolution: The Rise of Indonesia's E-Motorcycle, yang dilakukan oleh Deloitte Indonesia berkolaborasi dengan Foundry, sebuah platform ekosistem yang menghubungkan para juara inovasi di Indonesia.
“Beberapa hambatan motor listrik yang saya temui yaitu termasuk adopsi, standarisasi baterai, dan jarak tempuh yang terbatas,” ucap Staf Khusus Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Agus Tjahajana, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/9/2023).
Namun, ia meyakini bila diperkuat dengan sistem swapping baterai, maka akan bisa mempercepat transisi dan adopsi motor listrik. Maka dari itu, masih diperlukan swap station yang tersebar di berbagai titik untuk kenyamanan penggunanya. “Kita tidak dapat membandingkan motor listrik dengan motor bensin yang sudah ada sejak 40 tahun yang lalu,” ungkap Agus.
Sebagai negara dengan populasi sepeda motor terbesar ketiga di dunia, industri sepeda motor listrik di Indonesia menunjukkan peluang sebesar 19,2 Miliar dollar AS (Rp 295 triliun) baik dari sudut pandang produsen maupun distribusi energi.
Riset tersebut akan mengupas peta industri pemain motor listrik, serta analisis lebih dalam mengenai opsi dan dilema adopsi motor listrik seperti charging atau swapping, perbandingan biaya dan infrastruktur untuk berbagai model yang ada, serta pandangan dari sisi regulasi.
“Sebagai ekosistem platform, kami melihat sinergi yang solid sangat dibutuhkan untuk bersama-sama memecahkan masalah, memberikan solusi, dan memajukan perkembangan industri motor listrik di Indonesia,” ujar Director of Research Foundry, Erwin Arifin.
Sejak 2019, pemerintah Indonesia terus memberlakukan peraturan untuk memberikan insentif kepada konsumen, mengurangi biaya produksi, dan mempercepat infrastruktur motor listrik untuk mencapai targetnya pada 2030 dengan target 31 ribu stasiun pengisian daya, 67 ribu stasiun pertukaran, 30 persen penjualan motor listrik, dan 13,5 juta motor listrik sudah berada di jalan-jalan.
Dengan 1.500 swap station yang sudah tersebar di seluruh Indonesia, Swap Energi juga akan mempercepat penempatan 5.000 titik penukaran baterai, sehingga memudahkan para pengguna motor listrik untuk beralih ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan.
“Sebagai salah satu pioneer di industri baterai swapping dan motor listrik, kami berkomitmen dan berpartisipasi aktif dalam mengejar terwujudnya Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan,” ucap Founder & CEO SWAP Energi, Irwan Tjahaja.
Sementara itu, Director of Strategic Planning and Business Development Pertamina New & Renewable Energy, Fadli Rahman, mengatakan dalam proses adopsi kendaraan listrik skala besar, perlu juga dipertimbangkan manajemen sumber daya alam dari awal hingga akhir.
“Setelah produksi dan penggunaan baterai, perlu dipikirkan dari sekarang bagaimana proses utilisasi/daur ulang dari baterai tersebut. Mulai dari energy storage, cell recycling, dan upaya lainnya guna menjaga keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan,” kata Fadli.
Adapun, katalis yang diperlukan untuk adopsi EV yang lebih cepat meliputi, infrastruktur distribusi energi, insentif dari pemerintah, standarisasi baterai motor listrik, serta pajak karbon pemerintah dan kredit pajak kendaraan listrik.
Seiring dengan pertumbuhan pasar motor listrik di Indonesia, jelas bahwa kendaraan ramah lingkungan ini akan tetap ada. Kenyamanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan yang ditawarkan oleh motor listrik akan mengubah cara masyarakat Indonesia bepergian.