REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Beberapa penduduk desa di Maroko gunakan keledai untuk mengangkut logistik ke daerah-daerah terpencil yang tidak dapat diakses oleh kendaraan. Sementara, rasa frustrasi dari beberapa korban gempa meningkat seiring dengan lambatnya tanggapan resmi.
Gempa berkekuatan 6,8 skala Richter melanda Pegunungan Tinggi Atlas pada Jumat (8/9/2023) malam dan menewaskan sedikitnya 2.901 orang serta melukai 5.530 orang lainnya. Ini adalah gempa paling mematikan di Maroko sejak 1960 dan gempa paling kuat sejak 1900.
Di tepi jalan, Iydouhmad Mohamed (42 tahun) dari desa terpencil Pegunungan Tinggi Atlas di Agndiz, sedang memilah-milah kumpulan pasokan bantuan untuk desanya yang berjarak 12 kilometer dan hanya dapat dicapai dengan keledai. Sejauh ini belum ada pejabat pemerintah yang mencapai lokasi tersebut sejak terjadi gempa.
“Banyak orang meninggal di desa saya. Ada keluarga yang kehilangan 15 kerabatnya. Sementara yang lainnya (kehilangan) 12 atau 7 orang,” ujar Mohamed.
“Kami membutuhkan tenda. Apa yang kami punya tidak cukup. Orang-orang termasuk anak-anak tidur di udara terbuka hanya dengan ditutupi selimut," kata Mohamed.
Masyarakat Maroko telah membawa dan mengirimkan banyak perbekalan ke desa-desa pegunungan. Medan yang terjal dan jalan rusak membuat respons pemerintah tidak merata. Bantuan untuk beberapa dusun yang terkena dampak paling parah datang terlambat. Rumah sakit lapangan dan tempat penampungan telah didirikan di lokasi yang lebih mudah diakses.
"Tidak ada jalan di sini. Tidak ada yang bisa memindahkan batu-batu besar yang runtuh dari gunung," ujar Abdallah Houssein (40 tahun) dari Desa Zawiyate di Pegunungan Tinggi Atlas.
“Ini hari keenam setelah gempa. Kami masih tidur di alam terbuka bersama anak-anak kami. Kami tidak punya selimut,” ujar Houssein.
Houssein mengambil kebutuhan logistik dengan menggunakan keledai. Houssein mengatakan, di hanya bisa melakukan perjalanan ke desanya dua kali sehari.
Para penyintas masih takut dengan gempa susulan....