Jumat 15 Sep 2023 09:08 WIB

Buat Perguruan Tinggi Lain 'Berdarah-darah', Jalur Mandiri PTN Diminta Dievaluasi

Selama ini jalur mandiri tidak dibatasi dan tidak transparan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. jalur seleksi yang tak diatur dengan pasti batasan waktu pendaftaran dan kuotanya itu menimbulkan ancaman bagi PTS
Foto: Dok istimewa
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. jalur seleksi yang tak diatur dengan pasti batasan waktu pendaftaran dan kuotanya itu menimbulkan ancaman bagi PTS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan jalur mandiri pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di perguruan tinggi negeri (PTN) disebut tak ada salahnya dievaluasi apabila masih ditemukan persoalan dalam pelaksanaannya. Kenyataannya, jalur seleksi yang tak diatur dengan pasti batasan waktu pendaftaran dan kuotanya itu menimbulkan persoalan baru, yang membuat perguruan tinggi swasta (PTS) kesulitan.

“Mudah-mudahan ada perbaikan (dengan aturan baru). Tetapi jika masih terjadi lagi hal-hal yang mungkin belum seperti yang kita inginkan, tentu tidak ada salahnya tahun depan kita sempurnakan kembali,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, dalam diskusi “Sinergitas Tingkatkan APK Bermutu dan Berkeadilan” di Universitas Yarsi, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023).

Wakil Bendahara II Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Muhammad Muchlas Rowi, pada kesempatan itu mengungkapkan, persoalan yang ada muncul ketika jalur yang dibatasi pada SPMB PTN hanya Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Sementara seleksi jalur mandiri tidak dibatasi dan tidak transparan.

“Kami-kami (selain PTN) itu kan tidak tahu sebetulnya beralaa sih kuota yang akan diraih oleh PTN itu? Jadi tidak ada transparansi itu. Sehingga kami mau merencanakan (jumlah penerimaan mahasiswa) bagaimana? Kalau semuanya diambil terus gimana?” kata dia.

Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, mengatakan, pemerintah perlu menyadari apabila PTS tidak dipelihara, kemampuan yang PTS miliki bisa menurun, baik itu dari sisi mutu, jumlah, hingga kualitas riset dan pengembangannya. Penurunan kemampuan itu, kata dia, bisa menjadi kerugian bersama, baik PTN maupun PTS.

Fasli memberikan perbandingan kondisi PTS saat ini dengan dulu, ketika angka partisipasi kasar (APK) di PTS masih cukup besar. Saat itu, dengan APK yang cukup besar PTS masih bisa mengambil alih seluruh keperluan yang dimiliki, mulai dari membeli lahan dan gedung sendiri, merekrut pegawai sendiri sampai menyekolahkannya ke jenjang S2 dan S3 sendiri. Pun demikian dengan biaya operasional yang dikeluarkan dari kocek sendiri.

“Tapi begitu terguncang dengan penreimaan mahasiswa baru, karena penerimaan mahasiswa baru itu sumber utama mereka, maka ini sama dengan kita membiarkan tergerusnya peluang mereka untuk survive dan pada akhirnya merugikan semua pihak nanti,” kata dia.

Menurut dia, negara akan dirugikan karena lembaga-lembaga yang sudah lama memberikan kontribusi dan cukup bermutu kala itu menjadi mengalami penurunan kualitas. Di mana, penurunan itu terjadi akibat penderitaan dan penurunan kemampuan mereka untuk bertahan dari gempuran seleksi jalur mandiri.

“Misal di Yarsi menunggu berlama-lama dulu sampai pertengahan Agustus baru tahu kejelasan akan berapa dapat mahasiswa kita. Jaraknya hanya dari 15 Agustus ke mulai kelas awal di bulan September,” kata dia.

Lalu, ketika kampusnya sudah menerima mahasiswa dengan segala seleksi yang telah dilalui, ternyata kemudian karena jalur mandiri masih berjalan di banyak PTN dan mereka diterima lewat jalur itu, mahasiswa tersebut mundur. Kasus seperti itu terjadi bukan hanya pada satu atau dua mahasiswa saja.

“Jadi kita mengembalikan aja nih (SPP). Yang sudah membayar SPP bukan main banyaknya yang minta kembalikan. Dan kita tidak membuat sekali dia masuk, dia tak bisa diambil uangnya. Kita hanya mengambil biaya administrasi. Jadi itu merupakan bleeding,” tutur Fasli.

Ketika itu terjadi, jangka waktu bagi PTS untuk mencari mahasiswa baru sangat pendek karena sudah semakin mepet dengan pembelajaran tahun ajaran baru. Menurut dia, aturan di Permendikbudristek yang mengatur SPMB memungkinkan PTN dimungkingkan untuk membuka seleksi jalur mandiri sepanjang kuota 50 persen di jalur tersebut belum tercapai.

“Tapi kembali mari kita lihat ini dengan jernih. Tujuan utama kita tentu semua anak bangsa yang potensial dari mana pun, kaya-miskin pun dia dapat pendidikan tinggi yang bermutu, merata, dan relevan. Dan untuk itu sinergitas antara negeri dan swasta perlu kita bangun,” kata dia.

Persoalan pada jalur mandiri juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko. Menurut dia, ada potensi penyelewengan korupsi dengan model peraturan saat ini, yang tidak dilakukan pembatasan secara pasti waktu dan kuota mahasiswa yang diterima.

“Saya berapa kali ketemu dengan temen-temen KPK juga bicara tentang permasalahan bagaimana PTN itu sangat-sangat memungkinkan dalam hal ini melalukan penyelewengan korupsi dengan model-model aturan yang dikeluarkan Dikti sekarag. Tidak dibatasi waktunya, kuotanya. Itu jadi masalah,” ungkap Budi.

Sebab itu, dia menilai pembatasan yang jelas akan kedua hal itu penting untuk dilakukan. Ketika pembatasan sudah dilakukan, perguruan-perguruan tinggi swasta akan dapat dengan sendirinya kembali ke kondisi sehat. Para rektor di PTN pun tak lagi harus “mengejar setoran” lewat jalur mandiri tersebut.

“Misalnya di Jakarta itu ada UIN Jakarta. Itu nerima bisa 15.000. Dulu mereka terima cuma 3.000-an. UI juga sama, dulu di 3.000-4.000, sekarang sudah 15.000. UNJ sama. Kalau (PTN) memberhentikan (jumlah itu), kembali seperti dulu 3.000, berarti ada 12 ribu itu masuk ke PTS. Itu sehat semua. Nggak usah dibantu udah sehat itu,” kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement