REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA – Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah berpartisipasi dalam KTT G77-Cina yang digelar di Havana, Kuba, Jumat (15/9/2023). Pada kesempatan itu, Abbas mengemukakan isu tentang terhambatnya pembangunan di Palestina akibat penjajahan Israel.
“Kita bertemu di tengah ketidakpastian yang terus-menerus, di mana pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang mengalami pukulan yang serius,” kata Abbas dalam pidato pembukaannya, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Abbas kemudian menyinggung tentang tantangan-tantangan global yang dihadapi saat ini, mulai dari pandemi hingga kesenjangan akibat perubahan iklim. Tantangan tersebut, menurut Abbas, dirasakan secara luas di negara-negara bagian selatan Bumi.
Dia menekankan, agenda global masa depan akan didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan, serta tak meninggalkan siapa pun, termasuk mereka yang dirampas haknya untuk menentukan nasib sendiri serta merdeka.
“Khususnya rakyat Palestina yang terus hidup di bawah pendudukan Israel, dan sebagai akibatnya, menghadapi tantangan yang semakin besar dalam implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan, baik dari segi frekuensi dan cakupannya,” ujar Abbas.
Oleh karena itu, Abbas menambahkan, situasi pembangunan di Palestina berbeda dengan negara-negara lain di dunia. “Sebab wilayah ini tunduk pada rezim apartheid institusional Israel, pendudukan ilegal, dan proyek kolonial yang mengabaikan hak kami atas pembangunan. Israel, sebagai negara pendudukan, menerapkan kebijakan sistematis yang bertujuan melemahkan pembangunan seluruh rakyat (Palestina),” ucapnya.
Abbas mengatakan, baru-baru ini segenap negara di dunia menghadapi dampak buruk krisis ekonomi global, inflasi, dan kenaikan harga bahan pokok, termasuk makanan serta produk minyak.
“Semua orang tahu bahwa kebijakan-kebijakan ilegal yang menjajah tanah kami, penjarahan kekayaan dan sumber daya alam kami, hukuman kolektif, degradasi lingkungan, serta pembatasan pergerakan yang diberlakukan oleh Israel, telah menghancurkan perekonomian kami. Oleh karena itu, perekonomian kami tidak dapat berkelanjutan atau bertahan jika pendudukan terus berlanjut,” ujar Abbas.
Dia mengungkapkan, pada 2011, komunitas internasional, termasuk PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan lainnya, mengakui kesiapan institusional Palestina untuk merdeka.
“Sudah 12 tahun sejak itu. Selama tahun-tahun ini kami menghadapi krisis ekonomi yang serius, akibat sikap keras Israel di jalur politik dan praktik ilegal di lapangan. Krisis ini menimbulkan pertanyaan moral dan politik yang penting bagi komunitas internasional, yang telah berinvestasi secara politik dan ekonomi dalam solusi dua negara, bukankah ini saatnya untuk mengakhiri ketidakadilan historis yang kompleks yang telah mempengaruhi rakyat Palestina?,” papar Abbas.
Abbas menekankan, saat ini, kebijakan dan praktik Israel berupaya untuk memperkuat pendudukan kolonial para pemukimnya serta memaksakan realitas apartheid yang tidak boleh ditoleransi. “Status quo ini harus diakhiri, dan kita harus bertindak sekarang untuk mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Negara Palestina, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya sejak tahun 1967, dan menyelesaikan semua masalah status permanen, termasuk masalah pengungsi Palestina,” kata Abbas.
G77 adalah kelompok kerja sama negara anggota PBB yang terdiri dari 134 negara berkembang. Agenda utama G77 adalah memajukan kerja sama pembangunan.