REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Uni Emirate Arab (UEA) mengakui bahwa Kesepakatan Abraham (Abraham Accord) yang menjadi landasan normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Israel, gagal menghentikan perluasan permukiman ilegal Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat. Sebelumnya UEA yakin Kesepakatan Abraham dapat melayani kepentingan Palestina dengan menghentikan aneksasi Israel atas Tepi Barat, dan mempertahankan solusi dua negara.
Pada 2020, UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel di bawah Kesepakatan Abraham. UEA menghadapi kritik karena diduga mengkhianati perjuangan Palestina. Negara Teluk tersebut membela keputusan kontroversial ini. UEA menyatakan, Kesepakatan Abraham melayani kepentingan Palestina dengan menghentikan aneksasi Israel atas Tepi Barat dan mempertahankan solusi dua negara. Kesepakatan Abraham dibentuk oleh pemerintahan mantan presiden Donald Trump.
Sejak itu, UEA secara konsisten berpendapat, membuka hubungan dengan Israel dapat membatasi perluasan wilayah Israel. Namun pekan lalu, Duta Besar UEA di Washington, Yousef Al-Otaiba, sepertinya mengakui, Kesepakatan Abraham tidak dapat menghentikan Israel memperluas pencaplokan wilayah Palestina di Tepi Barat.
Dalam peringatan tiga tahun Kesepakatan Abraham di Washington, Al-Otaiba menyatakan, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara efektif mencaplok Tepi Barat. Dia menyiratkan bahwa negara-negara yang mempertimbangkan untuk membuka hubungan formal dengan Israel mungkin menjadi pemain kunci untuk menghentikan aksi tersebut.
“Perjanjian kami memiliki jangka waktu tertentu, yang hampir berakhir. Oleh karena itu, kami tidak dapat mempengaruhi keputusan yang diambil setelah jangka waktu tersebut,” kata Al-Otaiba, dilaporkan Middle East Monitor, Senin (18/9/2023).
“Sekarang mungkin tergantung pada negara lain untuk mengadopsi strategi tersebut. Hanya ada sedikit pengaruh yang dapat diberikan UEA terhadap keputusan Israel saat ini,” ujar Al-Otaiba menambahkan.
Sebelumnya, Al-Otaiba menegaskan, Kesepakatan Abraham mencegah aneksasi wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel. Dia menyebutkan, UEA telah mengamankan komitmen Israel untuk menunda rencana mencaplok sebagian besar Tepi Barat, sehingga menjaga potensi resolusi dua negara.
Dengan mendukung normalisasi, UEA memperjuangkan ambisi negara Palestina. Al-Otaiba menganggap aneksasi merupakan ancaman besar bagi masa depan negara Palestina, dan menjadi sebuah bahaya yang dapat dimitigasi oleh perjanjian normalisasi.
Namun demikian, banyak pihak yang mencatat bahwa Israel belum membuat komitmen yang mengikat untuk menghentikan aneksasi tanpa batas waktu. Para kritikus menyalahkan UEA karena memberikan keuntungan diplomatik kepada Israel sebagai imbalan atas komitmen ambigu yang dapat dengan mudah dikesampingkan.
Pernyataan Al-Otaiba disampaikan di tengah diskusi yang sedang berlangsung mengenai potensi perjanjian normalisasi Saudi-Israel yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS). Saudi menetapkan sejumlah syarat sebelum membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Syarat tersebut antara lain, imbalan jaminan keamanan AS dan lampu hijau untuk program nuklir sipil. Saudi juga telah menyatakan keinginannya untuk mendapatkan konsesi dari Israel terkait Palestina.
Laporan media Arab baru-baru ini mengeklaim kesepakatan itu gagal karena penolakan Israel untuk berkompromi mengenai masalah Palestina. Para pejabat Israel dilaporkan terkejut dengan rekan-rekan mereka di Saudi yang menghubungkan masalah Palestina dengan normalisasi.