REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kitab Ad-Dhiya al-Lami' adalah buku yang di dalamnya berisi tentang kisah kenabian yang ditulis secara puitis. Kisah ditulis dalam bentuk syair-syair dengan keindahan bahasa yang tinggi.
Pengarang kitab ad-Dhiya al-Lami' adalah Habib Umar bin Hafidz, yang merupakan tokoh ulama asal Yaman dan memiliki pengikut di banyak negara. Dalam kitab yang ditulisnya itu, Habib Umar menggunakan metode kebahasaan yang luar biasa.
Ada banyak isti'arah (metafora) yang diterapkan dalam kitab yang memuat syair-syair indah itu. Sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Arab juga memiliki konsep metafora, yang bernama isti’arah.
Dalam Balaghah (ilmu yang mempelajari gaya bahasa Arab), isti’arah digunakan sebagai metafora sebagian, yaitu kata atau kalimat bukan dalam makna aslinya, karena ada hubungan makna asli dengan yang dipakai, dan ada tanda yang menunjukkan hal itu.
Jika dilihat dari kata yang dipakai, isti’arah terbagi dalam empat bagian. Pertama, isti’arah tashrihiyyah, yakni kata yang disebut adalah musyabbah bih (yang diserupai). Kedua, isti’arah takhyiliyyah, yaitu yang disebut adalah musyabbah-nya, tapi, kalimat sesudahnya menunjuk pada musyabbah bih.
Ketiga adalah isti’arah asliyah, yang dalam jenis ini, kata yang disebut tidak memiliki derivasinya. Dan keempat adalah isti’arah tabaiyah, yaitu kebalikan dari isti’arah asliyyah. Adapun jenis isti'arah lainnya ialah isti'arah makniyah, ashliyah, murasyahah, mujarrodah, dan muthlaqoh.
Nur Fajar, dalam karya ilmiah skripsinya berjudul 'Wujuuh Al Isti'aarah fii Aa-taabi ad-Dhiya al-Lami' li Al Habiibi Umar bin Hafidz bin Syaykh Abu Bakr Salim', menguraikan, kata 'Nur' muncul secara tunggal sebanyak lima kali dalam kitab ad-Dhiyaaul Laami'. Berikut ini lima penggunaan kata 'Nur' dalam kitab ad-Dhiya al-Lami'.
1. نبأنا الله فقال : جاءكم # نور فسبحان الذي أنبانا
2. والنور طه عبده من به # في ذكره أعظم به منانا
3. قد كانا يغمر نور طه وجهه # وسرى إلى الابن المصون عيانا
4. فملا النور النواحي # عمّ كل الكون أجمع
5. فعليك الله صلى # ما بدى النور وشعشع
Misalnya kata 'nur' pada syair nomor 1, jika diartikan ke bahasa Indonesia, maka setidaknya menjadi "Allah mengabarkan kepada kita, dan berfirman bahwa telah datang cahaya kepada kalian. Maha Suci Allah yang telah mengabarkan kepada kita".
Cahaya pada syair tersebut bukan merujuk pada makna cahaya sebagaimana yang dikenal secara umum oleh umat manusia. Melainkan, cahaya di syair tersebut mengacu pada sosok Nabi Muhammad SAW.
Baca juga: 5 Dalil yang Menjadi Landasan Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Artinya, Nabi Muhammad SAW diumpamakan dengan cahaya bagi semua karena terdapat kemiripan secara makna. Cahaya secara makna denotatif menerangi gelap. Begitupun Nabi Muhammad SAW yang datang untuk menerangi zaman kegelapan yakni jahiliyah di kala itu.
Kemiripan tersebut kemudian dihilangkan sehingga yang dimunculkan hanyalah 'cahaya'. Ini untuk menguatkan makna bahwa cahaya itu sendiri adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Habib Umar bin Hafidz menerapkan isti'arah tashrihiyyah untuk memberikan keindahan gaya bahasa pada salah satu dari banyak syair di dalam kitab ad-Dhiya al-Lami'.