REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pada akhir Juli, sekelompok pejabat pemerintah dan akademisi Cina bertemu di Urumqi membahas rencana nasional untuk “mensinisasi” Islam. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa secara khusus, Cina perlu berbuat lebih banyak untuk menyatukan Islam dengan Konfusianisme.
Untuk mencapai hal tersebut, mereka perlu merilis Alquran baru berbahasa Mandarin yang diterjemahkan dan diberi anotasi yang selaras dengan semangat zaman. Pembahasan rencana mensinisasi Islam salah satunya disponsori oleh Institut Sosialisme Pusat Cina.
“Mensinisasi Islam di Xinjiang harus mencerminkan aturan sejarah tentang bagaimana masyarakat berkembang, melalui konsolidasi kekuatan politik, pengamanan masyarakat, dan konstruksi budaya,” kata Wang Zhen, seorang profesor di Institut Sosialisme Pusat Cina, dilaporkan Radio Free Asia.
Institut Sosialisme Pusat Cina adalah bagian dari Kelompok Kerja Front Bersatu Partai Komunis, yang mengendalikan urusan agama Cina. Kelompok kerja ini menghasilkan rencana sinisasi Islam.
Sekretaris Partai Komunis Xi Jinping pertama kali menyebutkan "sinisasi” agama di Cina dalam pidatonya pada 2015. Dia menyebutkan Sinicizing Islam secara khusus pada 2017.
Pada 2018, Partai Komunis Cina telah menyusun rencana nasional untuk mensinisasi tiga agama monoteistik utama di negara tersebut, yaitu Protestan, Katolik, dan Islam selama lima tahun ke depan.
Rencana 32 poin untuk Islam ini menyoroti masalah-masalah di beberapa bidang yang tidak dapat diabaikan. Menurut terjemahan bahasa Inggris yang oleh China Law Translate rencana 32 poin itu mengatakan, beberapa tempat telah dipenuhi dengan ideologi ekstremis agama. Masjid meniru arsitektur asing, umat Islam mengenakan pakaian asing, dan label makanan halal diterapkan secara berlebihan.
Dalam rencana 32 poin itu disebutkan tentang langkah untuk meniadakan ideologi tradisional Islam Cina. Langkah-langkah tersebut antara lain, partai memperkuat personel keagamaan untuk menjelaskan Alquran dan Hadits dalam versi baru. Termasuk mempromosikan penggunaan Konfusianisme untuk menafsirkan kitab suci.
Menggunakan Konfusianisme untuk menafsirkan kitab suci mengacu pada kumpulan terjemahan dan tulisan Islam dalam bahasa Cina Dinasti Qing, yang dikenal di kalangan sarjana Barat sebagai Kitab Han, yang menggunakan konsep Konfusianisme untuk menguraikan teologi Islam. Teks-teks tersebut diproduksi di Cina bagian timur, tidak pernah diedarkan di wilayah Uighur, dan tidak diakui dalam tradisi Islam Uighur.
“PKC mengidentifikasi ini sebagai satu-satunya praktik keagamaan yang benar di Cina. Menggunakan pembingkaian seperti ini untuk menyelaraskan Islam dengan Konfusianisme, dan menyelaraskan Islam dengan tradisi Cina adalah pembacaan sejarah yang sangat selektif," ujar Stroup.
Selain terjemahan bahasa Mandarin, PKC sedang mempertimbangkan terjemahan Alquran Uighur yang baru dan berbahasa Sinicized. Banyak Muslim Uighur menyukai terjemahan bahasa Arab-Uighur tahun 1980-an yang ditulis oleh ulama Muhammad Salih.
Namun, toko buku berhenti menjual kitab Alquran terjemahan Salih sekitar 2010. Mereka menggantinya dengan terjemahan kelompok yang banyak dikritik, yang dijual seharga 1.000 yuan. Salih meninggal dalam tahanan polisi pada tahun 2018 dalam usia 82 tahun.
“Waktu selalu berubah, masyarakat selalu membaik, sehingga pemahaman kita terhadap kitab-kitab klasik seperti Alquran juga harus berubah,” kata Profesor Universitas Peking, Xue Qingguo, menurut laporan Xinhua pada konferensi Urumqi.