REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan negara-negara untuk mengakhiri subsidi energi fosil. Hal itu disampaikan dihadapan para pemimpin global yang menghadiri KTT Iklim di markas besar PBB di New York pada Rabu waktu setempat.
Di tengah komitmen perubahan iklim, subsidi bahan bakar fosil global memang dilaporkan meningkat. Menurut International Monetary Fund (IMF), nilai subsidi bahan bakar fosil secara global mencapai 7 triliun dolar AS pada 2022.
"Umat manusia telah mencapai pintu gerbang menuju neraka. Gelombang panas yang dahsyat menimbulkan dampak yang juga dahsyat,” kata Guterres dalam pidato pembukaan KTT Iklim seperti dilansir Reuters, Kamis (21/9/2023).
Pada KTT tersebut, Guterres menguraikan sebuah agenda percepatan untuk mengatasi perubahan iklim, termasuk desakan untuk mengakhiri subsidi energi fosil. Pasalnya, pembakaran bahan bakar fosil melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer, yang merupakan pendorong utama perubahan iklim.
"Kita harus memulihkan kerugian akibat keserakahan dari mereka yang mengeruk miliaran dolar dari bahan bakar fosil,” ujar Guterres.
Guterres tak memungkiri bahwa saat ini jumlah investasi dalam clean energy mulai mengalami peningkatan. Namun menurut dia, inisiatif ini ketinggalan zaman, dan seharusnya dilakukan beberapa dekade lalu.
Ia juga menyerukan kepada negara-negara maju untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) secepat mungkin pada tahun 2040, sementara untuk negara-negara berkembang pada tahun 2050.
Secara khusus, Guterres mendesak negara-negara yang termasuk dalam OECD untuk memiliki rencana untuk menghentikan pembakaran batu bara pada tahun 2030. OECD merupakan organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi yang diikuti 18 negara Eropa serta Amerika Serikat dan Kanada.
Sementara itu, negara lain di seluruh dunia yang tidak termasuk OECD harus menghentikan pembakaran batu bara pada tahun 2040.
"Jika tidak ada perubahan, kita akan menuju kenaikan suhu 2,8 derajat celcius. Menuju dunia yang berbahaya dan tidak stabil," ujar Guterres.