Kamis 21 Sep 2023 13:20 WIB

Sinisisasi Islam di Cina Dimulai dengan Menghancurkan Kubah Masjid

Pihak berwenang mengatakan kubah tersebut adalah bukti adanya pengaruh agama asing.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Masjid Agung Tongxin, Cina, yang dibangun dengan ciri khas arsitektur Cina.
Foto: china.cn
Masjid Agung Tongxin, Cina, yang dibangun dengan ciri khas arsitektur Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, XINING -- Masjid Dongguan memiliki tampilan yang sangat berbeda selama hampir 700 tahun berdiri di kota Xining, barat laut Cina. Masjid ini dibangun dengan gaya istana kekaisaran Cina, dengan atap genteng dan tanpa kubah, serta dihiasi simbol Buddha.

Masjid ini hampir hancur karena diabaikan saat terjadi kekacauan politik di awal abad ke-20.  Pada 1990an, pihak berwenang mengganti ubin keramik asli pada atap dan menara dengan kubah hijau. Namun pemerintah provinsi menghancurkan kubah-kubah masjid tersebut.

Baca Juga

“Pemerintah mengatakan mereka ingin kita 'menjelekkan' masjid-masjid kita, sehingga masjid-masjid tersebut lebih mirip Lapangan Tiananmen di Beijing,” kata Ali, seorang petani Muslim yang menjual buah delima di luar masjid, dilaporkan National Public Radio (NPR).

Ali meminta agar NPR hanya menggunakan nama depannya saja karena warga telah diperintahkan untuk tidak berbicara mengenai pembongkaran kubah tersebut. Cina menghapus kubah dan menara dari ribuan masjid di seluruh negeri. 

Pihak berwenang mengatakan kubah-kubah tersebut adalah bukti adanya pengaruh agama asing. Mereka secara terang-terangan merobohkan arsitektur Islam sebagai bagian dari upaya untuk melakukan sinisisasi terhadap kelompok Muslim.

Pendekatan Cina terhadap etnis minoritas telah bergeser ke 'sinisisasi' di bawah pemerintahan Xi Jinping Kebijakan etnis Cina secara langsung meniru pendekatan Soviet, yang mengklasifikasikan warga negara ke dalam 55 kelompok etnis minoritas yang berbeda, dan diberikan otonomi budaya terbatas di wilayahnya. 

Namun para ahli mengatakan, Partai Komunis Cina di bawah pemerintahan Xi Jinping telah beralih ke pendekatan baru yang mendukung integrasi dan asimilasi, atau sebuah proses yang disebut 'sinisisasi' atau juga disebut Cinaisasi.

“Pandangan yang sangat liberal atau positif terhadap semua ini (sinisisasi) pada dasarnya hanyalah membandingkannya dengan, katakanlah, bagaimana rasanya menjadi warga negara Amerika? Anda mengakomodasi dan orang-orang menyesuaikan diri,” kata Dru Gladney, pakar Islam di Cina, di  Perguruan Tinggi Pomona.

Setelah lebih dari 1.300 tahun tinggal dan menikah di Cina, Muslim Hui, yang berjumlah sekitar 10,5 juta jiwa, atau kurang dari 1 persen populasi Cina, telah menyesuaikan diri dengan menjadi Tionghoa secara budaya dan bahasa. 

Mereka bahkan membuat Islam versi baru yang dapat diakses oleh penganut Konghucu dan Daois, dengan mencoba menunjukkan bahwa Islam merupakan agama asli Cina dan bukan pengaruh asing. Mereka  mengadopsi konsep dan istilah spiritual yang ditemukan dalam filsafat Cina kuno untuk menjelaskan ajaran Islam.

Berbagai sekte Hui juga memasukkan praktik keagamaan Cina ke dalam ibadah mereka, seperti membakar dupa pada upacara keagamaan. Komunitas Hui di Provinsi Henan tengah bahkan dikenal karena masjidnya yang khusus perempuan dan dipimpin oleh perempuan, yang diyakini sebagai tradisi unik yang telah lama ada di Cina.

Gladney mengatakan, suku Hui bukanlah orang Cina seperti yang diinginkan oleh para pendukung sinisisasi. "Ketika orang-orang membuat argumen satu arah mengenai sinisisasi, saya pikir mereka salah mengartikannya sebagai Han-isisasi,  dengan kata lain, menjadikan Muslim Cina lebih seperti mayoritas etnis Han di Cina," ujar Gladney.

Beijing memiliki pemahaman yang lebih sempit tentang apa artinya menjadi Tionghoa. Para pakar mengatakan, Cina berpegang pada nilai-nilai Partai Komunis, hanya berbicara bahasa Mandarin dan menolak semua pengaruh asing.

“Komunis saat ini mencoba menguasai Cina secara budaya,” kata Ma Haiyun, seorang profesor sejarah di Universitas Frostburg.

Pihak berwenang mulai merobohkan kubah masjid beberapa tahun lalu dalam upaya menghilangkan pengaruh Saudi dan budaya Arab.Jalan-jalan di Kota Xining di Provinsi Qinghai, Cina, dipenuhi dengan kenangan komposisi sejarah Cina yang multietnis dan seagama. 

Banyak orang mengenakan topi atau syal putih yang disukai oleh Muslim Hui, dan pengunjung juga cenderung mendengar bahasa Mandarin seperti bahasa Tibet yang dituturkan oleh sekitar seperlima penduduk Qinhai.  Sekitar seperenam penduduk provinsi ini berasal dari kelompok etnis yang diklasifikasikan oleh Cina sebagai Muslim.

Di jantung hiruk pikuk kota terdapat Masjid Dongguan, yang merupakan masjid terbesar di Xining.  Di restoran-restoran yang memenuhi gang-gang di sekitar masjid, para pedagang menjual mie kuah daging sapi halal.  Gerobak berisi kurma dan almond berkumpul di bawah lengkungan batu bata.

Namun yang hilang adalah kubah hijau besar yang pernah menjadi puncak menara dan ruang salatnya.  Di bawah slogan 'menghilangkan pengaruh Saudi dan Arab', pihak berwenang telah merobohkan kubah-kubah dari sebagian besar masjid di barat laut Cina. Langkah ini sebagai bagian dari kampanye penghapusan nasional yang dimulai pada 2018.

Xi pertama kali menyerukan sinisisasi pada 2016. Pada Agustus, Xi menyampaikan pidato yang mengatakan bahwa kelompok agama dan etnis harus menjunjung tinggi panji persatuan Cina. Hal ini berarti mereka harus mengutamakan budaya Cina di atas perbedaan etnis.

Kampanye penghapusan kubah hanya mendapat sedikit perlawanan dari masyarakat.  Penduduk Xining mengatakan imam dan direktur Masjid Dongguan ditahan sebentar dan dipaksa menandatangani persetujuannya. Kubah masjid lainnya di Xining yang dihancurkan yaitu Masjid Nanguan.

Di wilayah lain di Cina, sinisisasi telah memungkinkan negara membenarkan penyitaan aset masjid, pemenjaraan para imam, dan penutupan lembaga keagamaan selama dua tahun terakhir. Pemerintah juga menekankan pembatasan penggunaan bahasa non-Cina seperti bahasa Tibet atau Uighur. 

Di Provinsi Mongolia Dalam, protes massal yang damai terjadi pada kisaran 2021. Namun aksi protes dengan cepat diredam setelah sekolah-sekolah mengurangi waktu pengajaran bahasa Mongolia dan beralih ke bahasa Mandarin.

Upaya Cina dalam mengendalikan budaya paling keras terjadi di wilayah barat Xinjiang. Pihak berwenang menahan ratusan ribu etnis Uighur di kamp-kamp yang menurut Beijing adalah sekolah yang mengajarkan bahasa Cina dan teori komunis Cina.  Negara juga telah merusak atau menghancurkan ribuan masjid dan situs keagamaan di Xinjiang.

Penghapusan kubah di Masjid Dongguan di Xining telah memecah belah komunitas Muslim Cina yang sudah terpecah belah, dan rentan terhadap perpecahan sektarian. “Jika Anda merombak masjid ini dan menciptakan kekacauan (di antara komunitas Muslim). Anda sudah melihat berbagai sekte mulai bermunculan di Xining, saya pikir pemerintah sedang mencoba memecah belah dan memerintah,” kata profesor Ma yang lahir di Xining dan dibesarkan di sekitar masjid tersebut.

Pada 1990-an, ketika Cina membuka diri secara politik, para pemimpin lokal mendorong negara-negara Teluk Persia seperti Kuwait dan Arab Saudi untuk berinvestasi dalam proyek infrastruktur besar-besaran. Langkah ini bertujuan untuk menginternasionalisasi negara Komunis yang pernah tertutup itu. 

Datangnya investor asing dari negara-negara Arab ini membuka jalan bagi banyak pelajar Muslim Cina untuk dapat belajar di luar negeri di negara-negara Timur Tengah, khususnya di Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Para mahasiswa itu kembali ke Cina dan membawa ide-ide baru tentang arsitektur Islam.

Sebagai bagian dari upaya modernisasi ini, pihak berwenang juga merobohkan atap masjid bergaya Cina yang berusia berabad-abad, termasuk atap yang menghiasi Masjid Dongguan.

Mayoritas Muslim Hui telah mengakomodasi tekanan budaya yang terus berubah di sekitar mereka.

Yusuf, pemilik toko Muslim di dekat Masjid Dongguan yang menjual penutup kepala Muslim dan produk kecantikan halal, mengatakan, suku Hui harus terus beradaptasi, seperti yang telah mereka lakukan selama berabad-abad untuk bertahan hidup.  Dia meminta agar NPR hanya menggunakan nama depannya, karena warga bisa dikenakan sanksi negara jika berbicara soal agama dengan jurnalis asing.

"Segala sesuatunya berubah dari satu era ke era lainnya. Pada masa Ketua Mao, mereka merobohkan semua masjid kita. Lalu mereka membangunnya. Sekarang mereka merobohkannya lagi! Ikuti saja slogan politik apa pun yang diteriakkan negara ini saat itu," kata Yusuf.

Untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari satu abad, Masjid Dongguan mengalami perubahan lagi. Namun hal itu tidak masalah bagi Yusuf.

“Bagi kebanyakan orang, gaya Cina atau gaya Arab, kami tidak peduli. Iman kami tidak ada di bangunan kami. Iman kami ada di dalam hati kami,” kata Yusuf sambil menepuk dadanya dengan tegas.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement