Jumat 22 Sep 2023 03:47 WIB

Hasil Panen Ubur-Ubur Nelayan Cilacap Berkurang, Ini Penyebabnya

Ubur-ubur hasil tangkapan nelayan pada 2019 bisa mencapai 900 ton.

Ubur-ubur ditangkap para nelayan.
Foto: Antara
Ubur-ubur ditangkap para nelayan.

REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Cilacap Indarto mengatakan nelayan di sejumlah wilayah Cilacap, Jawa Tengah, dalam beberapa hari terakhir panen ubur-ubur (sejenis binatang laut yang termasuk dalam kelas Scyphozoa).

"Namun sekarang volume ubur-uburnya mulai berkurang, sejak ada hujan beberapa hari lalu," kata Indarto, di Cilacap.

Menurut dia, ubur-ubur biasanya muncul di perairan selatan Cilacap saat musim kemarau atau musim angin timuran yang tidak disertai dengan adanya hujan.

Ia mengatakan produksi ubur-ubur hasil tangkapan nelayan pada 2019 mencapai 900 ton, namun pada 2020-2022 turun drastis karena sering terjadi hujan.

"Apalagi di 2022 ada fenomena La Nina, sehingga sering terjadi hujan. Padahal, ubur-ubur kalau ada hujan akan menghilang atau tidak muncul," ujarnya pula.

Terkait dengan hal itu, dia memperkirakan produksi ubur-ubur pada 2023 tidak sebanyak 2019 karena sempat terjadi hujan.

Lebih lanjut, Indarto mengatakan ubur-ubur hasil tangkapan nelayan tersebut dijual ke pengepul dan selanjutnya dikirim ke eksportir yang berada di luar wilayah Cilacap. "Ubur-ubur itu diekspor ke sejumlah negara seperti China," kata dia.

Salah seorang nelayan di Cilacap Darkim mengatakan ubur-ubur mulai bermunculan sejak awal bulan September, namun saat sekarang sudah mulai berkurang.

Kendati demikian, dia mengaku masih bisa mendapatkan 1-2 ton ubur-ubur dalam sekali melaut. "Biasanya, saya bisa dua kali berangkat melaut dalam sehari, hanya untuk menangkap ubur-ubur," ujarnya pula.

Menurut dia, ubur-ubur tersebut selanjutnya dijual ke pengepul di kompleks Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap dengan harga Rp 900 per kilogram.

Salah seorang pengepul Dirman mengaku saat sekarang hanya bisa mengumpulkan ubur-ubur hasil tangkapan nelayan hingga kisaran 20-30 ton.

"Dulu bisa bisa mencapai 50 ton. Ubur-ubur itu saya beli dari nelayan sebesar Rp 900 per kg, kemudian dijual ke gudang (penampungan) dengan harga Rp 1.100 per kg sudah termasuk upah tenaga kerja dan transportasi," ujarnya lagi.

Setelah melalui berbagai proses pengeringan, ubur-ubur tersebut dikirim ke eksportir di Jakarta untuk diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Timur, seperti China dan Jepang, guna diolah menjadi bahan makanan maupun kosmetik.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement