REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Selama berbulan-bulan, Arab Saudi dan Israel telah membahas kesepakatan untuk menormalisasi hubungan diplomatik yang ditengahi Amerika Serikat (AS).
Presiden Iran, Ebrahim Raisi, telah memperingatkan Arab Saudi agar tidak membuat kesepakatan apa pun dengan Israel. Pada konferensi pers di sela-sela Majelis Umum PBB di New York, Raisi mengatakan kepada Sky News bahwa kesepakatan seperti itu akan menjadi tikaman dari belakang terhadap rakyat Palestina dan perlawanan mereka.
“Dalam keadaan apa pun negara-negara kawasan tidak ingin negara-negara Islam meninggalkan prinsip suci penderitaan rakyat Palestina karena pembebasan kota suci Yerusalem adalah inti dari keyakinan seluruh umat Islam,” kata Raisi.
Pada Rabu (20/9/2023), Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengatakan kepada saluran Fox News bahwa kesepakatan normalisasi dengan Israel kian dekat.
Ada sejumlah syarat yang diajukan Arab Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Saudi menginginkan pakta pertahanan AS, termasuk pembatasan yang lebih sedikit terhadap penjualan senjata AS dan bantuan dalam mengembangkan program nuklir sipil.
Saudi juga mengatakan, kesepakatan apa pun akan membutuhkan kemajuan besar menuju pembentukan negara Palestina. Konsesi ini menjadi hal yang sulit dilakukan oleh pemerintah nasionalis dan sayap kanan Israel.
Arab Saudi telah menjadi pendukung besar Inisiatif Perdamaian Arab pada 2002, yang mengkondisikan normalisasi hubungan dengan Israel terkait penarikan diri mereka dari wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan di Suriah.
Inisiatif ini mencakup pembentukan negara Palestina serta menemukan solusi yang adil terhadap penderitaan jutaan pengungsi Palestina dan keturunan mereka, yang sebagian besar tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga.