REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan menegaskan kembali komitmen teguh Arab Saudi. Kerajaan disebut berdiri bersama komunitas Muslim dalam menjaga identitas Islam dan menjunjung tinggi martabat mereka.
Pangeran Faisal memainkan peran penting di pertemuan Kelompok Kontak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengenai Jammu dan Kashmir, Rabu (20/9/2023) kemarin. Agenda ini diadakan bersamaan dengan sesi ke-78 Majelis Umum PBB (UNGA 78).
Dalam pidatonya, Pangeran Faisal menekankan dukungan teguh Kerajaan Saudi terhadap mereka yang menghadapi kekacauan dan konflik di berbagai wilayah, termasuk masyarakat Jammu dan Kashmir.
Dilansir di Saudi Gazette, Jumat (22/9/2023), sembari menyoroti pentingnya masalah Jammu dan Kashmir, ia juga menekankan bahwa hal ini merupakan tantangan penting bagi keamanan dan stabilitas kawasan.
Pangeran Faisal lantas memperingatkan agar masalah ini tidak terselesaikan, karena hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan regional.
Tidak hanya itu, ia juga menggarisbawahi upaya berkelanjutan Kerajaan Arab Saudi dalam memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini bertujuan untuk deeskalasi dan mencapai resolusi damai sejalan dengan resolusi internasional yang relevan.
Menurut dia, upaya diplomatik dilakukan berasal dari komitmen abadi Arab Saudi, untuk mendukung komunitas Islam.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Wakil Menteri Urusan Multilateral Internasional Dr. Abdulrahman Al-Rassi dan Direktur Jenderal Kantor Menteri Luar Negeri Abdulrahman Al-Dawood.
Sebelumnya, diberitakan dalam sesi ke-78 Majelis Umum PBB sejumlah pemimpin negara mengecam negara-negara Barat atas pembakaran Alquran. Mereka juga mengecam tindakan melindungi otoritasnya, yang diklaim sebagai bentuk kebebasan berpendapat atas tindakan yang diskriminatif.
Swedia merupakan salah satu negara yang telah menyaksikan serangkaian pembakaran kitab suci Islam itu. Pemerintahnya menyuarakan kecaman, tetapi mengatakan tidak dapat menghentikan tindakan yang dilindungi undang-undang kebebasan berekspresi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengambil sikap dan telah memberikan tekanan selama berbulan-bulan pada Swedia atas penerimaan aktivis Kurdi yang dianggap Turki sebagai teroris. Ia mengatakan negara-negara Barat sedang melihat “wabah” rasialisme, termasuk Islamofobia.
"Ini telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi. Sayangnya, politisi populis di banyak negara terus bermain api dengan mendorong tren berbahaya tersebut," ujar dia kepada Majelis Umum PBB.
Erdogan lantas menyebut mentalitas yang mendorong serangan keji terhadap Alquran di Eropa, dengan membiarkannya berkedok kebebasan berekspresi, pada dasarnya menggelapkan masa depan Eropa melalui tangan mereka sendiri.
Presiden Iran Ebrahim Raisi, juga membahas isu soal Alquran dalam pertemuan PBB ini. "Api rasa tidak hormat tidak akan mengalahkan kebenaran ilahi,” kata Raisi.
Ia menuduh Barat berupaya mengalihkan perhatian pada masalah sesungguhnya dengan alasan kebebasan berpendapat. Menurut dia, Islamofobia dan apartheid adalah budaya yang terjadi di negara-negara Barat.
Tidak ketinggalan Emir Qatar juga ikut bersuara dalam pertemuan tersebut. Kerajaan yang kaya tersebut memiliki hubungan dekat dengan Barat dan dunia Islam lainnya.
Dalam pidatonya, Sheikh Tamin bin Hamad Al Thani mengatakan tindakan yang dengan sengaja mengkompromikan kesucian orang lain, tidak boleh dilihat sebagai kebebasan berekspresi.
“Saya akan mengatakan kepada saudara-saudara Muslim saya, bahwa tidak masuk akal bagi kita merasa terganggu oleh orang idiot atau orang yang bias, setiap kali dia memprovokasi kita dengan membakar Alquran atau dengan bentuk-bentuk hal sepele lainnya,” ujar dia.
Sumber:
Penilaian