REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 80 persen skema carbon offset yang didukung perusahaan dan pemerintah dilaporkan tidak betul-betul memberikan solusi pada pengurangan karbon. Ini merujuk pada investigasi gabungan yang dilakukan Corporate Accountability dan The Guardian.
Skema carbon offset merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan pengurangan emisi di tempat lain. Kebijakan ini dibebankan kepada perusahaan, badan pemerintah, dan bahkan individu untuk mengompensasi jejak emisi mereka dengan berinvestasi.
Para pakar lingkungan telah lama memperingatkan bahwa skema carbon offset, yang merupakan bagian dari pasar karbon sukarela (VCM/voluntary carbon market), merupakan cara bagi perusahaan bahan bakar fosil untuk menjustifikasi ekstraksi minyak dan gas yang berkelanjutan.
Mengutip basis data perdagangan emisi AlliedOffsets, The Guardian mencatat, 50 proyek global yang paling populer meliputi skema kehutanan, pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga surya dan angin, pembuangan limbah, dan skema peralatan rumah tangga yang lebih ramah lingkungan di 20 (sebagian besar) negara berkembang.
Investigasi gabungan ini menemukan bahwa 39 dari 50 proyek carbon offset memiliki setidaknya satu kegagalan mendasar yang menghambat upaya pengurangan emisi. Pada akhirnya, proyek-proyek tersebut kemungkinan besar hanyalah ‘sampah’ alias tak memberi solusi terhadap masalah emisi karbon.
Analisis ini mengkarakterisasi sebuah proyek sebagai ‘tak bernilai’ jika ada bukti kuat, klaim, atau risiko tinggi bahwa proyek tidak dapat menjamin pengurangan gas rumah kaca secara permanen.
"Dalam beberapa kasus, ada bukti yang menunjukkan bahwa proyek carbon offset malah dapat membocorkan emisi gas rumah kaca atau mengalihkan emisi ke tempat lain. Dalam kasus lain, manfaat iklim tampaknya dibesar-besarkan atau proyek tersebut akan berjalan dengan sendirinya dengan atau tanpa pasar karbon sukarela,” kata direktur penelitian iklim dan kebijakan internasional di Corporate Accountability, Rachel Rose Jackson.
Ia mengatakan, temuan-temuan ini sangat memberatkan skema yang berulang kali digembar-gemborkan oleh para penghasil emisi terbesar di dunia sebagai penentu utama dalam menyelesaikan krisis iklim.
“Kita tidak bisa membuang waktu lagi untuk solusi yang salah dan tidak ada gunanya untuk perubahan iklim,” kata Jackson seperti dilansir Common Dreams, Jumat (22/9/2023).
Investigasi ini merupakan penelitian terbaru yang menimbulkan keraguan serius terhadap efektivitas inisiatif carbon offset, karena perusahaan dan pemerintah di seluruh dunia semakin banyak menginvestasikan sumber daya dalam skema perdagangan karbon sukarela.
Pekan lalu, Carbon Market Watch merilis sebuah analisis dari para ahli di University of California Berkeley, yang menunjukkan bahwa proyek-proyek penggantian kerugian karbon yang populer dan berfokus pada pelestarian hutan, melebih-lebihkan pengurangan emisi dan tidak efektif dalam memerangi deforestasi, yang merupakan ancaman utama bagi iklim.
Dalam investigasi mereka, Corporate Accountability dan The Guardian menunjuk pada sebuah proyek konservasi hutan besar di Zimbabwe yang dilaporkan memiliki begitu banyak klaim yang dibesar-besarkan.