REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Serangan di Mali utara meningkat lebih dari dua kali lipat sejak pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyelesaikan tahap pertama penarikan mereka bulan lalu. Kondisi tersebut memicu gelombang warga yang eksodus dari wilayah konflik di Mali utara melonjak.
Kini, warga Mali yang mengungsi khawatir akan terjadinya hal yang lebih buruk dalam kekerasan yang berkepanjangan. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) telah mendaftarkan lebih dari 33.000 orang yang telah melarikan diri dari wilayah Timbuktu dan Taoudeni di Mali utara, menuju Mauritania dan Aljazair untuk menghindari kekerasan.
"Di Timbuktu, semua masyarakat meninggalkan kota," kata Fatouma Harber, seorang penduduk Timbuktu yang merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena dampak.
"Beberapa minggu yang lalu, sebuah roket jatuh di kota ini, menewaskan seorang anak. Semua orang mengira roket itu bisa menimpa mereka atau anak-anak mereka," tambah Harber.
Peningkatan serangan ini usai satu dekade pihak militer memerangi ekstremis Islam, yang mengakibatkan lebih dari 150 orang tewas.
Dalam satu serangan yang cukup bengis, para militan menargetkan sebuah kapal penumpang bertingkat, menewaskan 49 warga sipil. Dan minggu ini, kelompok pemberontak lainnya menyerang kamp tentara Mali di wilayah Lere di perbatasan dengan Mauritania, menyebabkan beberapa personil keamanan tewas dan terluka.
Kini, warga Mali yang mengungsi khawatir akan terjadinya hal yang lebih buruk dalam kekerasan yang berkepanjangan. "Di Timbuktu, semua masyarakat meninggalkan kota," kata Fatouma Harber, seorang penduduk Timbuktu yang merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena dampak.
"Beberapa minggu yang lalu, sebuah roket jatuh di kota ini, menewaskan seorang anak. Semua orang mengira roket itu bisa menimpa mereka atau anak-anak mereka," tambah Harber.