Sabtu 23 Sep 2023 07:17 WIB

Negara Kecil Kepulauan Salahkan Negara Kaya karena Lamban Tangani Perubahan Iklim

Ilmuwan mengatakan dunia harus mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Perubahan iklim (Ilustrasi)
Foto: PxHere
Perubahan iklim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Negara-negara kecil kepulauan telah menanggung beban yang sangat nyata dari perubahan iklim yang terjadi pada beberapa tahun terakhir. Karena itu negara-negara kecil kepulauan ini menyalahkan negara-negara kaya di Majelis Umum PBB, Jumat (22/9/2023).

Mereka menganggap kegagalan berada negara-negara maju, karena lamban bertindak cepat dalam penanganan perubahan iklim. Kini akibatnya dampak perubahan iklim itu telah membahayakan kelangsungan hidup negara kepulauan tersebut.

Baca Juga

"Ada banyak di antara kita, pulau-pulau kecil dan terpinggirkan di dunia, dikelilingi oleh naiknya permukaan air laut dan dilenyapkan oleh kenaikan suhu. Yang mulai mempertanyakan parade pidato tahunan yang penuh dengan kata-kata manis dan kepura-puraan persaudaraan di depan umum, atau dikenal sebagai Sidang Umum tahunan PBB," kata Perdana Menteri Saint Lucia, Philip Pierre, dalam pertemuan tersebut, Jumat (22/9/2023).

Beberapa pembicara pada acara yang berlangsung selama seminggu tersebut mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang pada bulan Juli lalu memperingatkan bahwa era pemanasan global telah berakhir dan "era pendidihan global telah tiba." 

Kurangnya urgensi yang dirasakan oleh negara-negara maju adalah tema yang berulang. Para pembicara menekankan bahwa kegagalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca telah berkontribusi pada kenaikan permukaan air laut, yang mengancam pulau-pulau dan negara-negara di dataran rendah.

"Masalahnya adalah mereka yang tindakannya paling kita butuhkan mungkin begitu percaya diri dalam kelangsungan hidup mereka sehingga mereka tidak bertindak cukup dini untuk kita," kata Perdana Menteri Barbados Mia Mottley pada hari Jumat.

Di bawah Perjanjian Paris 2015 tentang mitigasi perubahan iklim, negara-negara bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius (2,7 derajat Fahrenheit), ambang batas yang menurut para ilmuwan dapat mencegah dampak terburuk dari pemanasan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, para ilmuwan mengatakan bahwa dunia harus mengurangi emisi global hingga setengahnya pada tahun 2030, dan mencapai titik nol pada tahun 2050. "Sayangnya, komunitas internasional belum melakukan cukup banyak hal untuk membuat kita berada di jalur yang tepat untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius," ujar Wesley Simina, Presiden Mikronesia, dalam sebuah pidato pada hari Kamis.

"Kita hanya perlu memindai berita pada hari apa saja untuk melihat bukti-bukti krisis iklim yang berdampak buruk di seluruh dunia saat ini," katanya.

Presiden Kepulauan Marshall, David Kabua, menyerukan pembentukan sebuah fasilitas pembiayaan internasional untuk membantu negara-negara kepulauan kecil dan negara atol yang menghadapi bencana alam.

Kabua mengatakan bahwa negara-negara yang menghadiri KTT iklim COP28 PBB yang dimulai pada bulan November harus menyadari bahwa dunia gagal memenuhi Perjanjian Paris dan menyetujui peta jalan untuk memperbaiki arah, termasuk penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.

"Tantangan-tantangan ini mungkin tidak nyaman bagi negara-negara besar - tetapi saya dapat memastikan bahwa dampak iklim sudah ada di depan mata," katanya kepada Majelis Umum.

Presiden AS Joe Biden akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak kedua dengan para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik di Gedung Putih pada hari Senin, di mana iklim akan menjadi salah satu agendanya. Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya Washington untuk meningkatkan keterlibatan dengan wilayah di mana AS sedang dalam pertarungan pengaruh dengan Cina.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement