REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengkritik Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena lembaga demokrasi itu semakin bernuansa militer.
Kritik tersebut mencuat dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik tujuh komisioner KPU RI terkait regulasi kuota caleg perempuan di Ruang Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Jumat (22/8/2023).
Dalam sidang tersebut, Gaffar bertindak sebagai saksi ahli. Dalam bagian akhir pandangannya, Gaffar menyebut seluruh komisioner KPU RI berasal dari kalangan masyarakat sipil. Namun, mereka tidak menjadikan nilai moral masyarakat sipil sebagai rujukan dalam membuat kebijakan.
Dia juga menilai para pimpinan KPU diperlakukan bak pejabat negara dengan segala dukungan finansial, fasilitas, dan pelayanan yang melebihi pejabat eselon 1 pemerintahan. "Belakangan, bahkan nuansa militerisme terasa menguat di lembaga kepemiluan," kata Gaffar, peneliti yang fokus meriset topik tata kelola pemilu dan masyarakat sipil, itu.
"Angan-angan ideal bahwa mereka (komisioner KPU) akan membawa dan menjaga kegelisahan civil society di ranah negara sangat sulit terwujud dengan situasi ini. Yang cenderung terjadi adalah ilusi kenyamanan sebagai pejabat negara," kata Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu.
Respons Ketua KPU
Merespons kritik tersebut, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mempertanyakan apakah nuansa militer yang dimaksud berkenaan dengan ditinggikan pagar Kantor KPU RI dan diperbaruinya seragam satpam.