Sabtu 23 Sep 2023 10:50 WIB

23 Juta Orang di Dunia Tinggal di Daerah Terkontaminasi Limbah Tambang Logam

Ada 22.609 tambang logam aktif dan 159.735 tambang logam terbengkalai di dunia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Limbah  peleburan logam (ilustrasi).
Foto: Dok.Rep
Limbah peleburan logam (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Setidaknya 23 juta orang di dunia tinggal di wilayah yang terkontaminasi limbah beracun dari pertambangan logam. Hal itu diungkap dalam sebuah penelitian yang dipimpin Profesor Mark Macklin dari University of Lincoln dan telah dipublikasikan di Jurnal Science.

Dalam penelitian tersebut, Prof Macklin dan timnya mengumpulkan data aktivitas pertambangan di seluruh dunia yang diterbitkan pemerintah, perusahaan pertambangan, serta organisasi seperti Survei Geologi AS. Hal itu mencakup lokasi masing-masing tambang, logam apa yang diekstraksi, dan apakah tambang tersebut aktif atau ditinggalkan.

Baca Juga

Prof Macklin dan timnya memetakan 22.609 tambang logam aktif dan 159.735 tambang logam terbengkalai di seluruh dunia. Mereka kemudian menghitung tingkat polusi dari tambang tersebut.

Prof Macklin mengatakan, sebagian besar logam hasil penambangan logam terikat pada sedimen di dalam tanah. “Bahan inilah, yang terkikis dari ujung limbah tambang, atau di tanah yang terkontaminasi, yang berakhir di saluran sungai atau (dapat) tersimpan di dataran banjir,” ungkapnya, dilaporkan BBC, Jumat (22/9/2023).

Prof Macklin dan rekan-rekannya menggunakan analisis lapangan serta laboratorium yang telah dipublikasikan sebelumnya untuk mengetahui seberapa jauh sedimen yang terkontaminasi logam bergerak ke sistem sungai. Data tersebut memungkinkan para peneliti menghasilkan model komputer yang dapat menghitung luas saluran sungai dan dataran banjir di seluruh dunia yang tercemar oleh limbah pertambangan. Baik dari aktivitas pertambangan saat ini maupun di masa lalu.

“Kami memetakan wilayah yang mungkin terkena dampak, yang jika digabungkan dengan data populasi, menunjukkan bahwa 23 juta orang di dunia hidup di wilayah yang dianggap ‘terkontaminasi’,” ujar Chris Thomas, profesor kesehatan air dan planet dari University of Lincoln yang turut bergabung dalam penelitian.

Thomas mengatakan, dalam hasil penelitian tidak dipastikan apakah masyarakat yang tinggal di daerah terkontaminasi terdampak oleh limbah pertambangan logam. “Ada banyak cara yang dapat membuat orang-orang tersebut terpapar,” ucapnya.

Thomas mengungkapkan, di banyak daerah yang dianggap terkontaminasi, terdapat pertanian dan irigasi. Tanaman yang ditanam di tanah terkontaminasi, atau diairi dengan air yang terkontaminasi limbah tambang, terbukti mengandung logam dengan konsentrasi tinggi.

“Hewan yang merumput di dataran banjir juga mungkin memakan bahan tanaman dan sedimen yang terkontaminasi, terutama setelah banjir, ketika sedimen segar kaya logam mengendap,” kata para ilmuwan dalam hasil penelitian mereka.

Para peneliti menunjukkan dalam studi mereka bahwa penambangan logam merupakan bentuk pencemaran lingkungan paling awal dan paling persisten yang dilakukan umat manusia. Limbah dari pertambangan mulai mencemari sistem sungai sejak 7.000 tahun lalu.

Prof Mark Macklin dan timnya mengatakan, penambangan di masa depan harus direncanakan dengan sangat hati-hati. Hal itu sangat penting mengingat melonjaknya permintaan logam yang akan mendukung teknologi baterai dan elektrifikasi, termasuk litium dan tembaga.

“Yang mengkhawatirkan bagi saya adalah warisannya (limbah beracun dari tambang logam), masih berdampak pada jutaan orang,” kata Prof Macklin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement