Sabtu 23 Sep 2023 22:02 WIB

Setelah 22 Tahun Peristiwa 9/11, Muslim AS Masih Menjadi Sasaran Islamofobia

Islamofobia sudah ada sebelum peristiwa 9/11.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Setelah 22 Tahun Peristiwa 9/11, Muslim AS Masih Menjadi Sasaran Islamofobia. Foto:   Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Setelah 22 Tahun Peristiwa 9/11, Muslim AS Masih Menjadi Sasaran Islamofobia. Foto: Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lebih dari dua dekade setelah serangan teroris pada 11 September 2001 yang mencatut nama Islam, diskriminasi dan kebencian terhadap umat Muslim di Amerika Serikat masih terjadi. 

Tak jarang, Islamophobia diarahkan ke umat Muslim hingga menimbulkan kemarahan kelompok advokasi hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika. Dilansir di TRT World, Selasa (12/9/2023), CEO Dewan Hubungan Amerika-Islam cabang California (CAIR- CA) Hussam Ayloush mengatakan, Islamophobia masih menjadi momok menakutkan bagi Muslim AS meski peristiwa 9/11 telah 22 tahun berlalu. 

Baca Juga

“Sayangnya, setelah 22 tahun, Islamofobia telah mengakar dan menjadi bagian dari struktur rasisme yang ada di beberapa bagian negara kita,” kata Ayloush. 

Dia menyebut, hampir satu juta dari sekitar lima juta Muslim yang tinggal di AS tinggal di negara bagian California dan menunjukkan bahwa pelecehan dan prasangka terhadap komunitas Muslim masih lazim terjadi beberapa dekade setelah 9/11.

Berdasarkan catatannya, lebih dari 50 persen siswa Muslim di California menghadapi beberapa bentuk intimidasi verbal dan fisik di sekolah umum hanya karena menjadi Muslim. Selain itu, kata dia, masih ada daftar pantauan pemerintah untuk hampir 1,6 juta orang yang hampir semuanya beragama Islam, yang namanya ada dalam daftar pantauan perjalanan atau memiliki nama yang terdengar Muslim.

“Jenis pelanggaran yang terjadi akibat peristiwa 9/11 yang dilakukan pemerintah menjadi bagian dari bagaimana Islamofobia berkembang. Umat Muslim dilecehkan di bandara, meminta FBI melakukan penggeledahan serta menempatkan informan di masjid-masjid dan memberikan lampu hijau kepada lembaga federal seperti FBI dan CIA untuk melacak Muslim dari negara lain seperti Suriah, Libya, dan Sudan," kata dia. 

Lonjakan kejahatan kebencian

Kejahatan kebencian terhadap umat Islam meroket segera setelah serangan 9/11. Hal itu meningkat 1.617 persen dari tahun 2000 hingga 2001 sebagaimana statistik yang dikeluarkan oleh FBI. Lonjakan tajam ini menandai jumlah tertinggi kejahatan rasial terhadap komunitas Muslim dalam sejarah AS. 

“Pemerintah AS di bawah pemerintahan George W Bush membutuhkan musuh yang memungkinkan kaum konservatif baru melancarkan kampanye mereka dan 9/11 menciptakan dalih yang sempurna untuk menjadikan Muslim sebagai musuh,” kata Ayloush. 

Dia pun mengatakan bahwa setiap stereotip terhadap komunitas Muslim adalah sebuah hal yang tidak dapat dibenarkan. Umumnya stereotip itu digunakan untuk melecehkan, menganiaya, dan menahan siapa pun yang sesuai dengan pola tersebut. 

“Cara kami (umat Muslim) makan, cara kami berpakaian, cara kami berbicara menjadi mencurigakan,” kata dia. 

Ayloush menjabarkan bahwa bentuk diskriminasi terhadap umat Muslim sangat tidak manusiawi. Misalnya, ketika umat Muslim menyewa truk untuk memindahkan perabotan mereka, FBI akan dipanggil. Jika seorang Muslim terlalu sering bepergian ke luar negeri atau mereka menarik banyak uang untuk bisnis mereka, mereka dianggap melakukan sesuatu yang salah dan FBI akan dipanggil untuk menyelidikinya.

Sehingga peristiwa 9/11 menciptakan momentum untuk membangun dan menghilangkan kefanatikan dan xenofobia di Amerika untuk membenarkan diskriminasi terhadap Muslim. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengatakan bahwa 'Saya tidak membenci semua Muslim, hanya mereka yang melakukan x, y atau z,' hanya untuk membenarkan kebencian mereka

Islamofobia sudah kuat sebelum 9/11

Seorang profesor sosiologi di Universitas Marquette di Milwaukee, Wisconsin yang berspesialisasi dalam Studi Arab dan Muslim Amerika, Louise Cainkar, mengatakan, bahwa Islamofobia sudah muncul bahkan sebelum peristiwa 9/11.

“Reaksi langsung terhadap semua orang yang dianggap Muslim membuktikan hal tersebut,” kata Cainkar. 

Hal ini dinilai bergantung pada persepsi bahwa semua orang adalah sama. Persepsi seperti itu tidak pernah diterapkan pada orang kulit putih atau Kristen. Tentu saja, kata dia, anggapan bahwa 9/11 adalah 'peristiwa Muslim' atau sesuatu yang melekat dalam diri seorang Muslim,  justru memperburuk keadaan. 

Dengan banyaknya Muslim yang dicap sebagai teroris dan dirujuk ke pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden, Cainkar mengatakan,  komunitas Muslim di Amerika tampaknya menghilang dalam bayang-bayang segera setelah serangan 9/11.

'Gelombang Islamofobia Lain'

"Awalnya, mereka 'bersembunyi', artinya mereka menjalani hidup dengan sangat tenang,” kata Cainkar.

Kemudian, lanjut Cainkar, mereka membangun organisasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka, membangun solidaritas dengan kelompok lain dan akhirnya menjadi komponen masyarakat sipil AS yang kuat. Gerakan pemberdayaan dan kesetaraan Muslim di Amerika Serikat memerlukan perjuangan dan ketekunan selama lebih dari dua dekade untuk berkembang hingga mencapai kondisi seperti sekarang ini. 

Namun bahkan setelah 22 tahun berlalu, dia melanjutkan, faktor-faktor yang sama sejak 11 September dan sebelum 11 September masih terus menimbulkan ketakutan di sebagian warga Amerika. 

“Stereotip yang sama mungkin digunakan; kekerasan, teroris, penindasan terhadap perempuan. Penggunaannya untuk keuntungan politik meningkat pada masa pemilu dan masa perang. Intinya adalah kebencian anti-Muslim masih ada saat ini, meskipun peristiwa 9/11 sudah hilang di masa lalu," ujar dia. 

Penelitian menunjukkan bahwa jumlah tersebut meningkat tidak hanya terkait dengan peristiwa di dunia nyata namun juga pada saat pemilu AS. Oleh karena itu, pihaknya berharap jika umat Islam kembali menjadi sasaran retorika kampanye tahun ini, maka umat Muslim akan melihat peningkatannya. 

Mengacu pada mantan Presiden Donald Trump yang saat ini berkampanye untuk nominasi presiden dari Partai Republik pada tahun 2024, pihaknya menilai bahwa sejauh ini Trump mengatakan dia akan memperluas 'larangan' tersebut, tapi dia tidak menggunakan kata 'Muslim' dalam kutipan yang saya lihat. 

"Tapi orang-orang tahu apa artinya. Dia mengacu pada pembatasan pemerintahan Trump yang melarang hampir semua pelancong dari lima negara mayoritas Muslim; Suriah, Iran, Yaman, Libya, Somalia untuk memasuki Amerika Serikat. Chad, Korea Utara dan Venezuela kemudian ditambahkan," ujar dia.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement