REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— China akan merilis Alquran versi baru dengan penerjemahan dan penafsiran yang dipadukan dengan konfusianisme.
Ini merupakan salah satu upaya negara berjuluk Tirai Bambu itu untuk mensinisasi Islam di negara itu. Ini menyusul pertemuan pejabat pemerintah dan dan akademisi China bertemu di Urumqi pada akhir Juli lalu.
Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa secara khusus, China perlu berbuat lebih banyak untuk menyatukan Islam dengan Konfusianisme.
Pakar tafsir Alquran yang juga Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Bayt Alquran, Dr KH Syahrullah Iskandar, memberikan pandangannya terhadap isu tersebut. Berikut pandangan utuh beliau yang diberi judul:
Catatan tentang Terjemahan Alquran
Penerjemahan Alquran sejak ratusan tahun silam telah hadir dalam beberapa versi bahasa, baik Latin, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan selainnya.
Meski awalnya ulama berselisih pendapat perihal kebolehan penerjemahan Alquran ke bahasa-bahasa tersebut, karya terjemahan Alquran tetap juga bermunculan dalam pelbagai bahasa. Tentu saja tujuannya agar memudahkan pembacanya mengais arti dari ayat atau surah yang dibacanya.
Upaya penerjemahan bukanlah perkara gampang, karena harus diawali dengan pembacaan beberapa referensi tafsir terlebih dahulu, berikut referensi-referensi terkait lainnya untuk memahami makna dari ayat yang akan diterjemahkan.
Baca juga: 5 Dalil yang Menjadi Landasan Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW
Terjemahan lebih ringkas dari tafsir, tetapi terjemahan dihasilkan meniscayakan telaah karya-karya tafsir terlebih dahulu. Belum lagi penerjemahan melibatkan bahasa asal dan bahasa tujuan. Dalam hal ini, bahasa Arab selaku bahasa Alquran menjadi elemen utama yang harus menjadi acuan.
Pemaknaan sebuah kata melibatkan referensi kebahasaan, sehingga makna leksikon sebuah kata tidak mungkin diabaikan begitu saja. Di sisi lain, penerjemah akan terjebak dalam kekeliruan jika memaknai sebuah kata dalam ayat Alquran mengabaikan makna yang berlaku saat pewahyuan (di masa Rasulullah SAW).
Sebagai contoh, jika makna kata “sayyarah” dalam Alquran surat Yusuf ayat 19 dengan “mobil” sebagaimana salah satu makna kata tersebut kekinian, maka makna ayat akan jauh dari konteks yang dimaksudkan.
Baca juga: 8 Fakta tentang Istana Supermegah Firaun yang Diabadikan Alquran
Kalau dari bahasa asal (bahasa Arab) sudah harus memerhatikan unsur gramatika bahasa Arab, begitupun di bahasa tujuan (bahasa terjemahan) juga harus teliti menggunakan padanan kata yang semakna, termasuk gramatika dan rasa bahasanya, sehingga tidak diterjemahkan secara harfiyah (letterlijk) yang berpeluang besar mengacaukan konteks dimaksudkan ayat Alquran.
Sisi lain lagi, perhatian terhadap perkembangan makna dan redaksi bahasa tujuan yang harus diakomodasi dalam upaya terjemahan.