Senin 25 Sep 2023 13:12 WIB

Diracun PKI, tapi Selamat, Kiai ini Malah Lindungi Warga yang Dituduh PKI

Kiai Musikan, Kiai NU yang Pernah Diracun Dedengkot PKI.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Monumen Korban Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Foto: ANTARA/Siswowidodo
Monumen Korban Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu partai politik tertua di Indonesia dan memiliki sejarah yang panjang dalam politik Indonesia. Partai ini didirikan pada 23 Mei 1929 dan terus beroperasi hingga 1966.

PKI menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, terutama selama era Presiden Sukarno. Namun, pada tahun 1965, PKI terlibat dalam percobaan kudeta yang gagal, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S).

Baca Juga

Peristiwa G30S/PKI adalah usaha makar untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara komunis. Mereka ingin mengganti ideologi Pancasila.

Setiap tanggal 30 September, masyarakat Indonesia pun akan selalu teringat dengan pembantaian yang dilakukan oleh PKI. Mereka bahkan tak segan-segan membantai para ulama kiai dan santri. Bahkan, kala itu ada juga ulama yang diracun, di antaranya adalah KH Musikan alias KH Ahmad Baihaqi.

Kiai Musikan adalah ulama yang menjadi panutan umat, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam membela orang-orang tertindas.

Menjelang huru hara 1965, Kiai Musikan pun memimpin NU Kalisat menghalau aksi sepihak PKI. Hingga akhirnya, Kiai Musikan diracun oleh dedengkot PKI. Berutung Allah masih menyelamatkan nyawanya.

Setelah peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), meskipun sudah berkali-kali didzolimi oleh PKI, Kiai Musikan tetap membuka pintu lebar-lebar dan memberikan perlindungan bagi orang-orang yang diduga atau dituduh PKI dari penumpasan oleh militer.

Saat itu, Kiai Musikan memerintahkan barisan pelopor dan Banser untuk menjemput orang-orang malang itu dan diminta untuk berlindung di pesantren.

Kiai Musikan menjaminkan diri untuk melindungi orang-orang awam yang tidak tahu menahu tentang konflik politik di pusat tersebut. Bahkan, mereka juga tidak tahu apa itu PKI.

Namun, sebagain besar mereka adalah keluarga santri yang tercatut namanya karena bekerja di perusahaan kereta api atau menjadi buruh perkebunan.

Diketahui, Kiai Musikan lahir di desa Bragung, Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Madura. Ayahnya bernama Abdul Hamid atau yang lebih dikenal dengan Kiai Judhi. Sedangkan ibunya bernama Mulani atau Nyai Judhi. Namun, setelah menunaikan ibadah haji pada 1968, Kiai Musikan berganti nama menjadi KH Ahmad Baihaqi.

Belum banyak literatur yang mengulas tentang sosok Kiai Musikan. Bahkan, tanggal dan tahun lahirnya sampai sekarang belum berhasil dipastikan oleh para peneliti. Maklum lah karena masyarakat desa tempo dulu tidak terbiasa mencatat tanggal kelahiran anak-anak.

Salah satu peneliti yang menulis tentang sosok Kiai Musikan adalah Dosen Universitas Islam Negeri  KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Ahmad Badrus Solihin. Menurut Cak Badrus, sapaan akrabnya, tahun kelahiran Kiai Musikan hanya bisa didapatkan berdasarkan perkiraan pihak keluarga.

Berdasarkan kesaksian saudara sepupunya yang bernama Mbah Duha, Kiai Musikan lahir sekitar tahun 1914 atau 1915. Kata Mbah Duha, Kiai Musikan lebih sepuh enam atau tujuh tahun darinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement