Senin 25 Sep 2023 15:18 WIB

Rusia Berharap Pertemuan Format Moskow Bantu Tangani Krisis Afghanistan

Format Moskow dibentuk pada 2017.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Seorang pria Afghanistan menjual bendera pemerintah Taliban pada peringatan 2 tahun penarikan AS, di Kandahar, Afghanistan, 31 Agustus 2023.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Seorang pria Afghanistan menjual bendera pemerintah Taliban pada peringatan 2 tahun penarikan AS, di Kandahar, Afghanistan, 31 Agustus 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Pemerintah Rusia akan mengadakan pertemuan Format Moskow di Kazan untuk membahas krisis Afghanistan pada Jumat (29/9/2023) mendatang. Rusia berharap, pertemuan itu bakal menghasilkan solusi untuk mengatasi krisis yang sedang dihadapi Afghanistan.

“Format Moskow akan berkumpul di Kazan, bukan di Moskow. Kami mengharapkan adanya pembicaraan tentang bagaimana negara-negara tetangga dapat membantu Afghanistan dalam mengatasi kesulitannya saat ini,” kata Lavrov, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS, Ahad (24/9/2023).

Baca Juga

Format Moskow dibentuk pada 2017. Ia merupakan platform regional yang memiliki misi membantu penanganan krisis di Afghanistan. Anggota format tersebut adalah Rusia, Afghanistan, India, Iran, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Cina, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Pertemuan Format Moskow terakhir kali digelar pada November 2022.

Terkait pertemuan terbaru yang diagendkan digelar di Kazan, Pemerintah Rusia mengundang delegasi Taliban untuk berpartisipasi. “Ya, mereka (Taliban) akan (hadir dalam pertemuan penyelesaian krisis Afghanistan). Mereka sudah mengonfirmasi (partisipasinya),” kata utusan khusus presiden Rusia untuk Afghanistan Zamir Kabulov kepada TASS, 18 September 2023 lalu.

Kabulov mengungkapkan, hampir seluruh peserta dalam Format Moskow telah mengonfirmasi kehadirannya. Taliban berhasil menguasai kembali Afghanistan pada Agustus 2021. Namun, hingga kini, belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan mereka. Salah satu faktor penyebabnya adalah kebijakan Taliban yang tak memenuhi hak-hak kaum perempuan di negara tersebut.

Pada Juni lalu Pelapor Khusus PBB untuk Situasi HAM Afghanistan Richard Bennett mengatakan, perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dapat dikategorikan sebagai apartheid gender. Hal itu karena Taliban mengekang hak-hak dasar mereka.

Dia menjelaskan, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena gender atau jenis kelamin mereka. “Kami telah menunjukkan perlunya lebih banyak eksplorasi apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian,” ujar Bennett.  

“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, maka tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana,” kata Bennett.

Kehidupan perempuan Afghanistan saat ini memang dikekang oleh Taliban. Anak perempuan dilarang melanjutkan pendidikan setelah mereka lulus sekolah dasar. Sekolah menengah dan universitas tak diizinkan bagi mereka. Keputusan melarang perempuan Afghanistan berkuliah diambil Taliban pada Desember tahun lalu.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement