REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Idealnya, industri memiliki pemahaman yang baik tentang perkembangan masa depan yang diperkirakan akan memengaruhi bidang mereka. Tetapi, faktanya, mereka sering kali memiliki prioritas untuk memastikan keuntungan jangka pendek tetap terjaga.
Utilitas listrik adalah contohnya. Sebagian besar tidak merasa terancam oleh listrik terbarukan hingga penetrasi meluas dengan cepat di wilayah mereka. Sebagai tanggapan, beberapa perusahaan telah melobi untuk menunda kemajuan lebih lanjut dan mencari alasan palsu untuk mendukung bahan bakar fosil daripada energi terbarukan.
Tentu saja, beberapa perusahaan telah mengubah model bisnis mereka untuk merangkul transisi energi terbarukan, tetapi ini tampaknya masih minim. Perusahaan-perusahaan minyak besar seperti BP dan Total Energies berinvestasi pada energi terbarukan, tapi investasi ini sering kali diimbangi dengan investasi yang sama besarnya pada eksplorasi bahan bakar fosil.
Baik Shell maupun BP baru-baru ini mundur dari komitmen iklim, meskipun secara diam-diam mengakui bahwa peningkatan produksi minyak tidak konsisten dengan mitigasi perubahan iklim. CEO Exxon (perusahaan minyak dan gas) juga mengatakan pada Juni 2023 bahwa perusahaannya bertujuan untuk menggandakan produksi minyak selama lima tahun ke depan.
“Apa yang terjadi di industri bahan bakar fosil tampaknya menjadi contoh dari istilah green paradox, di mana adalah rasional, dari sudut pandang maksimalisasi keuntungan, untuk mengekstraksi sumber daya ini secepat mungkin ketika dihadapkan dengan ancaman penurunan nilai pasar di masa depan,” kata Profesor dari University of Dayton, dilansir dari Fast Company, Senin (25/9/2023).
Artinya, jika sebuah perusahaan memprediksi bahwa di masa depan produknya akan menghasilkan lebih sedikit uang atau terancam oleh kebijakan iklim, maka perusahaan tersebut akan cenderung menjual sebanyak mungkin sekarang.
Sebagai bagian dari proses tersebut, perusahaan mungkin akan sangat bersedia mendorong pembangunan infrastruktur bahan bakar fosil yang jelas tidak akan layak dalam satu atau dua dekade ke depan. Dalam jangka panjang, negara-negara yang terdorong untuk meminjam untuk melakukan investasi ini mungkin akan terjebak dengan tagihan tersebut, di samping dampak perubahan iklim global yang akan terjadi.
Penjualan kendaraan listrik tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan di seluruh dunia, dan penjualan kendaraan bertenaga gas dan diesel mengalami penurunan. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), penjualan mobil listrik di seluruh dunia diperkirakan akan melonjak 35 persen lagi pada 2023 mencapai 14 juta unit.
Namun demikian, pemerintah AS masih memperkirakan permintaan global akan minyak dan bahan bakar fosil akan terus tumbuh. Mengapa AS memproyeksikan pertumbuhan minyak?
Menurut pandangan Robert Brecha, Profesor keberlanjutan dari University of Dayton, itu terjadi lantaran AS memperketat pemberian insentif pajak kendaraan listrik untuk menghilangkan ketergantungan pada Cina terkait rantai pasok atau teknologi. Sebagai dampak, beberapa kendaraan akan mengalami pemotongan kredit pajak atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Kebijakan ini pada akhirnya membuka jalan bagi peningkatan eksplorasi minyak dan gas alam. Di sisi lain, subsidi pemerintah yang besar terus mengalir ke industri bahan bakar fosil di banyak negara. Kontradiksi ini melemahkan tujuan Paris Agreement 2015 dan dapat menyebabkan aset terbengkalai yang mahal.
“Kendaraan saat ini juga memiliki umur yang lebih panjang, dibandingkan beberapa dekade lalu. Ukurannya pun lebih besar, sehingga memperlambat peningkatan efisiensi,” kata Brecha.