REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan kegiatan Sekolah Wartawan bertajuk 'Menakar Posisi Indonesia dalam KTT ASEAN', di Gedung Pusat UGM, Selasa (26/9/2023). Menghadirkan Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center UGM, Dafri Agussalim, kegiatan ini diselenggarakan untuk memberikan wawasan kepada insan media terkait berbagai isu regional di Asia Tenggara, mulai dari sejarah pembentukan organisasi ASEAN hingga evaluasi terhadap keketuaan Indonesia di ASEAN.
"Pembicaraan tentang ASEAN menjadi isu yang penting dan cukup menarik. ASEAN adalah salah satu organisasi regional yang dianggap paling sukses, bahkan disebut mengalahkan Uni Eropa. Tidak bisa dibantah ASEAN sudah menunjukkan keberhasilan terutama dalam bidang keamanan, keberadaan ASEAN berhasil menekan konflik agar tidak bereskalasi," papar Dafri.
Di samping untuk memupuk kerja sama di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara serta untuk menjaga negara-negara tersebut dari arus rivalitas kekuatan global, menurut Dafri, pendirian ASEAN juga menjadi salah satu upaya penyelesaian konflik antara sejumlah negara, misalnya antara Indonesia dengan Malaysia.
Lebih lanjut Dafri menerangkan, pendirian ASEAN tidak terlepas dari inisiatif Indonesia, yang bahkan hingga saat ini masih dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di dalam organisasi tersebut. "Tidak mungkin ASEAN berdiri tanpa inisiatif Indonesia. Harus diakui kita betul-betul menjadi agenda setter yang kuat di ASEAN yang menentukan banyak hal," katanya.
Keunikan ASEAN, menurut Dafri, salah satunya terletak pada deklarasi pendirian organisasi tersebut, yang lebih dikenal dengan sebutan Deklarasi Bangkok, yang tidak mengikat secara hukum seperti layaknya sejumlah organisasi regional seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang menerapkan sistem hadiah dan sanksi bagi anggotanya.
Meskipun dianggap sebagai salah satu organisasi regional yang cukup sukses, tidak dapat dipungkiri bahwa ASEAN masih memiliki catatan konflik internal di antara para anggotanya. Negara-negara ASEAN juga kerap tidak satu suara dalam respons mereka terhadap isu-isu kawasan, termasuk salah satunya terhadap klaim Cina di Laut Cina Selatan. "ASEAN bukan organisasi yang sudah sempurna, tetapi sedang dalam proses menuju kesempurnaan, sehingga bisa mengikuti pola maju selangkah mundur dua langkah," katanya.
Dafri menyebut bahwa kawasan Asia Tenggara secara geopolitis sangat strategis, dan kerap menjadi arena pertarungan dari kekuatan-kekuatan besar dunia. ASEAN juga menurutnya sangat dinamis sehingga untuk mencapai tujuan yang termuat dalam Deklarasi Bangkok diperlukan kerja keras dan upaya yang tidak mudah. Keberhasilan ini, menurutnya, akan sangat bergantung pada berbagai faktor internal dan eksternal.
Menghadapi berbagai tantangan ke depan, ASEAN menurutnya perlu menjaga stabilitas keamanan kawasan serta membangun kemitraan yang strategis. Sebagai negara yang memegang keketuaan ASEAN, menurutnya Indonesia perlu memikirkan cara untuk memulihkan kohesivitas para anggota ASEAN dan menyatukan kekuatan yang dimiliki.
"Semua orang tahu sepuluh negara ASEAN berada pada posisi yang strategis secara geografis, belum lagi dilihat dari besaran penduduk dan ekonominya. Mestinya keunggulan letak geografis ini dijadikan kekuatan tawar-menawar. Semua negara besar dunia membutuhkan ASEAN, ASEAN juga butuh negara besar untuk pertumbuhan ekonomi yang memerlukan teknologi, modal, dan perlindungan keamanan," jelasnya.