REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Executive Vice President of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani menyampaikan bahwa penghentian operasional PLTU di Indonesia dapat menurunkan emisi karbon dioksida hingga mencapai target 290 juta ton pada 2030. "Kalau misalnya diminta menjadi 290 juta ton CO2, salah satu-satunya memang harus ada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dimatikan. Itu memang bisa dimatikan, bisa saja, secara teknis itu bisa dilakukan," kata Kamia saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk 'Enhancing Energy Transition in The Power Sector' di Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Meskipun begitu, ia melanjutkan bahwa dibutuhkan biaya yang besar untuk memensiunkan salah satu PLTU di Indonesia. Dengan demikian, Kamia menyampaikan, Indonesia perlu mengandalkan bantuan atau dukungan pendanaan dari pihak internasional, seperti Kemitraan Transisi Energi Indonesia yang Adil atau Just Energi Transition Partnership (JETP) yang berkomitmen memberikan dana bantuan sebesar 20 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp 300-an triliun.
Diketahui, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono menyampaikan bahwa diperlukan biaya belasan triliun rupiah untuk mematikan operasional satu PLTU. Ia mencontohkan, pemensiunan dini PLTU Pelabuhan Ratu di Jawa Barat diperkirakan memakan biaya Rp 12 triliun.
JETP merupakan komitmen dari negara-negara maju yang tergabung dalam G7, yakni Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, dan Kanada, serta Denmark dan Norwegia yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) untuk mendukung percepatan pengurangan emisi gas rumah kaca sektor ketenagalistrikan.
Program tersebut diinisiasi pada 2021 dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-26 di Glasglow, Skotlandia. Namun, sebagaimana yang disampaikan Presiden RI Joko Widodo dalam KTT G20 du New Delhi, India, pendanaan dari JETP masih sebatas retorika di atas kertas. Hingga saat ini, pendanaan tersebut belum kunjung dicairkan.