REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR menyepakati untuk memilih Arsul Sani menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggantikan posisi Wahiduddin Adams. Ketua Komisi III Bambang Wuryanto menjelaskan sejumlah alasan mengapa pihaknya memilih Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Pertama adalah kekecewaan Komisi III yang kerap mengabulkan gugatan untuk membatalkan sebuah undang-undang yang sudah dibahas dan disahkan oleh DPR. Padahal, selama proses pembahasannya sudah memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Kita tidak pernah diajak (MK) bicara, tiba-tiba dibatalkan, padahal kita kerjakan, dibatalkan. Kenapa? Karena, mohon maaf, karena tidak ada satu pun yang punya profesi sebagai DPR, memahami SOP yang ada di DPR," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
"Itu salah satu pertimbangan beberapa kawan tadi yang memilih Arsul Sani dan juga memang menguasai S1 juga di hukum dan juga di DPR," sambungnya.
Arsul yang juga merupakan Wakil Ketua MPR tentu sangat paham terhadap konstitusi. Harapannya, hadirnya Arsul di MK dapat memperkuat kerja lembaga tersebut sebagai guardian of constitution.
"Meskipun seorang hakim yang dari DPR, kalau ada UU yang di-JR (judicial review), maka tidak ada jeleknya mereka berkonsultasi dengan kita. Karena dinamika di sana beda, di sini beda, apa argumentasi kadang-kadang juga loss," ujar Bambang.
"Maka salah satu pernyataan saya yang dikritisi yang menanyakan, 'Apakah dikau nanti bersedia kalau terpilih sebagai hakim MK ketika dilakukan JR Anda konsultasi dulu sama sini?'" sambung Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR itu.
Namun, ia menegaskan bahwa hal tersebut bukan upaya Komisi III mengganggu independensi dan imparsialitas Arsul sebagai hakim MK. Terpilihnya Arsul semata-mata untuk memberikan pemahaman kepada MK ihwal lama dan sulitnya pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Jadi bukan kita mengganggu independensi, tetapi dia supaya punya wawasan lebih luas. Karena yang utama, hakim MK penjaga konstitusi kita, kesepakatan berbangsa kita, maka kita memilih Arsul Sani," ujar Bambang.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim MK, Arsul mengatakan bahwa tak masalah MK melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan DPR terkait sebuah gugatan sebelum adanya putusan. Bahkan, ia tak mempermasalahkan konsultasi tersebut dilakukan di ruang tertutup.
"Mendiskusikan di ruang tertutup karena ada dampak-dampak yang negatif, itu menurut saya bukan hal yang terlarang, Sama kok seperti kita DPR melakukan eksaminasi terhadap putusan," ujar Arsul dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim MK, Selasa (26/9/2023).
"Paling tidak mendengarlah, tidak kemudian bikin komitmen (dengan DPR)," sambungnya.
Sebab, menurut dia, forum konsultasi yang dilakukan MK bersama DPR selama ini tak sesuai dengan yang diharapkan. Karenanya, ia tak masalah adanya konsultasi antara DPR dengan MK terkait sebuah gugatan.
"Memang saya sepakat, memang rapat konsultasi tidak membahas kasus yang sedang berjalan, tapi tidak ada salahnya DPR menyampaikan pendapat tentang perkara yang sudah diputus," ujar Arsul.