Rabu 27 Sep 2023 06:49 WIB

Sanksi Barat Gagal Lumpuhkan Perekonomian Rusia

Perekonomian Rusia diperkirakan tumbuh 2,8 persen tahun ini.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Kereta barang terparkir di atas rel stasiun barang di Kaliningrad, Rusia, Selasa 21 Juni 2022. Sanksi yang dijatuhkan oleh Barat gagal melumpuhkan perekonomian Rusia.
Foto: AP Photo
Kereta barang terparkir di atas rel stasiun barang di Kaliningrad, Rusia, Selasa 21 Juni 2022. Sanksi yang dijatuhkan oleh Barat gagal melumpuhkan perekonomian Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Oligarki Rusia, Oleg Deripaska mengatakan, sanksi Barat yang dijatuhkan kepada Rusia tidak akan menghentikan perang di Ukraina. Presiden Vladimir Putin mempersiapkan anggaran senilai 2,1 triliun dolar AS untuk perang berkepanjangan di Ukraina.

Sanksi yang dijatuhkan oleh Barat gagal melumpuhkan perekonomian Rusia, yang diperkirakan tumbuh 2,8 persen tahun ini dan 2,3 persen tahun depan.  Menurut Deripaska, harapan negara-negara Barat untuk memicu krisis ekonomi yang cepat di Rusia telah terbukti salah.

Baca Juga

Rusia sebagai eksportir minyak terbesar kedua di dunia tidak mengalami kesulitan dalam menjual minyaknya di pasar global. Rusia tetap melakukan perdagangan dengan Cina dan beberapa negara lainnya.

"Saya terkejut bahwa bisnis swasta bisa begitu fleksibel. Saya kurang lebih yakin bahwa hingga 30 persen perekonomian akan runtuh, tapi angkanya jauh lebih kecil," kata Deripaska.

Deripaska mengatakan, kekayaan sumber daya alam Rusia yang melimpah membuatnya terlalu menarik bagi banyak orang, termasuk Cin dan negara-negara lain. Menurutnya, harapan Barat menggunakan sanksi untuk mengubah pemimpin Rusia, sudah hancur.

Sejak invasi 24 Februari ke Ukraina, Deripaska telah dijatuhi sanksi oleh Inggris atas dugaan hubungannya dengan Putin.  Dia telah mengajukan tantangan hukum terhadap sanksi tersebut.

“Meyakini bahwa sanksi akan menghentikan (perang) atau menciptakan perubahan rezim atau membuat kita semakin dekat dengan akhir konflik, itu tidak. Kita perlu mendapatkan solusi lain,” kata Deripaska seperti dikutip oleh Financial Times.

Deripaska, yang belajar fisika di Universitas Moskow, merambah ke perdagangan logam ketika Uni Soviet runtuh. Dia menghasilkan banyak uang dengan membeli saham di pabrik-pabrik aluminium.

Deripaska mendirikan perusahaan Rusal yang menyatukan permata industri aluminium Soviet menjadi satu perusahaan induk, pada tahun 2000. Ia dinobatkan sebagai orang terkaya ke-54 menurut Forbes versi Rusia dengan kekayaan mencapai 2,5 miliar dolar AS.

Deripaska masih memiliki sebagian Rusal melalui saham di induknya En+ Group. Deripaska mengatakan, dia ragu sanksi Barat yang dianggap sebagai alat abad ke-20, akan menjadi senjata ajaib di dunia global.

“Saya selalu meragukan Wunderwaffe (senjata ajaib) ini, seperti yang sering dikatakan orang Jerman, mengenai sanksi yang mempersenjatai sistem keuangan sebagai semacam alat untuk bernegosiasi,” kata Deripaska.

“Ya, memang ada belanja perang dan segala jenis subsidi serta dukungan pemerintah, namun ternyata tingkat perlambatannya sangat rendah. Perekonomian swasta menemukan cara untuk beroperasi dan berhasil melakukannya," kata Deripaska.

Amerika Serikat pada 2018 menjatuhkan sanksi terhadap Deripaska dan tokoh berpengaruh Rusia lainnya, karena mereka mengambil keuntungan dari negara Rusia yang terlibat dalam “kegiatan jahat” di seluruh dunia. Sanksi tersebut merupakan upaya untuk menghukum Moskow atas dugaan campur tangan dalam pemilu AS pada 2016. Deripaska menyebut tuduhan itu tidak berdasar, konyol, dan tidak masuk akal.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement