REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin, mengaku arus distribusi barang dan jasa di kawasan timur Indonesia (KTI) belum didukung infrastruktur yang memadai sehingga biaya pengiriman menjadi mahal.
Bahtiar dalam keterangannya di Makassar, Rabu, mengatakan, KTI memiliki beragam potensi, mulai dari perikanan laut, perikanan tawar, dan pertanian dengan berbagai varietasnya.
"Bayangkan untuk jalur udara di Makassar sendiri yang terhubung ke luar negeri hanya Singapura dan Malaysia. Sementara untuk jalur perdagangan bukan hanya dua negara itu. Begitu juga daerah lain di bagian timur Indonesia," ujar Bahtiar di hadapan seluruh perwakilan Bappeda Provinsi se-KTI.
Begitu juga dengan jalur laut. Kapal-kapal kontainer yang membawa barang-barang masuk di Makassar, ketika pulang tidak memiliki muatan lagi, atau pulang dalam kondisi kosong.
"Nah inilah yang membuat biaya pengiriman mahal. Padahal kan bisa hasil pertanian atau hasil pengolahan nikel dari Sulawesi, Maluku dan Papua dikirim langsung ke negara tujuan, tanpa harus lewat Surabaya atau Selat Malaka. Ini kan kena cas lagi kalau lewat di situ, padahal ini semua bisa langsung," jelasnya.
Hal-hal seperti itu, menurut dia, yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi bukan hanya 5-6 persen, tapi bisa mencapai 6-8 persen. Apalagi, untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 sulit dicapai, apabila pertumbuhan ekonomi hanya 5-6 persen saja.
"Sebenarnya Bapak Presiden Republik Indonesia sudah mengubah dari land scape pembangunan Indonesia. Jadi kita semua bukan start dari nol, tapi sudah ada infrastruktur yang sudah dibangun oleh Bapak Presiden Jokowi untuk mencapai Indonesia Emas 2045," tuturnya.
"Indonesia Emas 2045 tidak akan terjadi kalau pertumbuhan ekonomi di setiap daerah hanya 5-6 persen, tapi minimal pertumbuhan ekonomi harus 6-8 persen," sambungnya.
Menurut Bahtiar, sejauh ini ada ketimpangan antara jalur laut maupun jalur udara di kawasan timur Indonesia. Untuk menjawab ketimpangan tersebut, dibutuhkan gerakan bagaimana menciptakan produk secara massal agar bisa diekspor ke pasar dunia.
"Memang ada ketimpangan antara arus jalur laut maupun udara di KTI. Selama ini mutar-mutar terus tidak bisa diselesaikan. Ini harus dipikirkan bersama," terangnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pokja Forum Bappeda KTI, Winarni Monoarfa, menjelaskan, saat ini sudah dibahas bagaimana rancangan pembangunan di KTI untuk menyambut Indonesia Emas 2045.
"Izin Bapak Gubernur, kami sudah berdiskusi dengan kepala bappeda provinsi se-KTI terkait pembangunan di KTI ini," kata Prof Winarni.
Sejauh ini, kata dia, rencana pembangunan sudah ada sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) terhadap rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025.
"Kami sudah berbicara dari berbagi wilayah mulai dari Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan Maluku," tutupnya.