REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Namun, terkadang kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas dengan melihat kembali apa yang terjadi di masa lalu seperti yang dipaparkan ilmuwan iklim, Michael Mann, dalam buku terbarunya Our Fragile Moment: How Lessons from Earth’s Past Can Help Us Survive the Climate Crisis.
Mann yang juga direktur Penn Center for Science menggambarkan perubahan iklim dunia berdasarkan pada kejadian dari masa-masa tertentu dalam sejarah bumi selama 4 miliar tahun, saat planet ini sangat panas atau sang dingin. Kurun waktu terakhir dalam buku ini adalah Common Era, 2.000 tahun terakhir, ketika manusia mendominasi kehidupan di Bumi.
Menurut dia, saat ini dunia sudah melampaui ambang batas hockey stick. Hockey Stick merupakan grafik yang diterbitkan oleh Mann dan ilmuwan lainnya pada tahun 1999. Grafik tersebut menunjukkan bahwa suhu rata-rata global sama atau sedikit menurun selama lebih dari 900 tahun dan kemudian berbalik naik secara tajam dari pertengahan tahun 1900-an sampai tahun 1999.
“Perbedaan yang jelas dari kejadian-kejadian di masa lalu adalah bahwa kita telah menghangatkan bumi jauh lebih cepat selama kurun waktu ini,” kata Mann seperti dilansir Scientific American, Kamis (28/9/2023).
Ada juga beberapa hal yang terjadi lebih cepat dari yang diduga, seperti melemahnya arus laut Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC). Menurut Mann, telah terjadi perlambatan dramatis dalam sirkulasi ini dalam satu abad terakhir. Salah satu penyebabnya mungkin terkait dengan lautan es Greenland yang mencair lebih cepat, sehingga ada banyak air tawar yang mengalir ke Atlantik Utara lebih awal dari yang diperkirakan.
Jalinan arus AMOC memainkan peran dalam sistem iklim dan pola cuaca global. Jika arus AMOC melemah lalu runtuh, maka implikasinya bisa fatal termasuk musim dingin akan jauh lebih ektrem, terjadi kenaikan permukaan laut di sebagian Eropa dan AS, serta pergeseran musim hujan di kawasan tropis.
Sekitar 56 juta tahun yang lalu, suhu Bumi sangat panas sehingga disebut sebagai era Paleocene-Eocene Thermal Maximum, atau PETM. Apakah manusia saat ini sedang menuju ke sana?
Mann menjelaskan, PETM terkenal karena pemanasannya yang cepat -tidak terjadi selama jutaan tahun, tapi hanya dalam waktu 10 ribu atau 20 ribu tahun. Ini sangat cepat dari sudut pandang geologi. Lonjakan pemanasan terjadi di atas planet yang sudah hangat; lonjakan ini membawa planet ke temperatur yang lebih tinggi.
PETM mencapai tingkat panas yang berbahaya bagi manusia, dan saat ini kita sudah menghadapi angin temperatur bola basah (Wet Bulb Temperature) yang mematikan di beberapa bagian dunia. PETM juga akan membuat sebagian besar planet Bumi menjadi terlalu panas bagi manusia. Adaptasi dimungkinkan terjadi, tapi dampaknya tidak akan menguntungkan siapapun.
Adaptasi yang dimaksud misalnya dengan miniaturisasi besar-besaran pada beberapa spesies. Kuda misalnya, menyusut 30 persen untuk beradaptasi [tubuh yang lebih kecil, dengan rasio luas permukaan dan volume yang lebih tinggi, tidak terlalu sulit melepaskan panas].
“Namun kenyataannya adalah ketika Anda melihat sesuatu yang begitu dramatis seperti kuda yang menyusut hingga 30 persen, itu berarti akan ada sejumlah besar spesies yang tidak bisa beradaptasi. Akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan. Idenya adalah bahwa manusia bisa saja beradaptasi, tapi tekanan selektif itu tidak menguntungkan siapa pun,” tegas Mann.
Karenanya ia mengajak semua pihak untuk sesegera mungkin mulai melakukan mitigasi perubahan iklim. Dengan begitu, kata Mann, kita bisa menghindari pemanasan global yang akan membawa konsekuensi yang jauh lebih buruk.
“Kita tidak tahu persis seberapa dekat kita dengan titik kritis yang bisa mengancam peradaban manusia. Bukti kolektif dari masa lalu menunjukkan bahwa kita masih memiliki batas aman. Tapi jika tidak disertai aksi nyata, Bumi bisa hancur karena pemanasan ekstrem ,” tegas Mann.