REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) memutuskan vonis pengadilan Turki pada seorang guru yang dituding terlibat aktivitas terorisme seperti menggunakan aplikasi atau memiliki rekening di bank tertentu melanggar hukum. Hal ini dapat berdampak luas bagi ribuan orang yang menghadapi tuduhan serupa di Turki.
ECHR memutuskan Turki melanggar tiga pasal Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR): Pasal 6, yang menyangkut hak atas peradilan yang adil; Pasal 7 tentang tidak ada hukuman tanpa hukum; dan Pasal 11 tentang kebebasan berkumpul dan berserikat.
Pengadilan Eropa memutuskan Turki harus memberi kompensasi pada guru yang bernama Yüksel Yalçınkaya sebesar 15.000 euro. Pada tahun 2017 pengadilan pidana tinggi Turki memvonis Yalçınkaya hukuman enam tahun tiga bulan penjara karena menjadi anggota organisasi teroris yang memiliki afiliasi dengan gerakan Gulen.
Keputusan pengadilan berdasarkan dugaan penggunaan aplikasi ByLock, keanggotaan dalam serikat buruh dan asosiasi yang berafiliasi dengan gerakan Gulen dan memiliki rekening di Bank Asya. Hukuman Yalçınkaya dikuatkan Mahkamah Agung pada bulan Oktober 2018.
Mahkamah Konstitusi Turki juga menolak permohonan yang diajukan Yalçınkaya. Pengadilan Eropa mengkritik penggunaan aplikasi pesan terenkripsi ByLock sebagai bukti. Dasar keputusan itu dianggap terlalu luas dan sewenang-wenang, serta tidak memiliki perlindungan yang diperlukan untuk melaksankan pengadilan yang adil.
Selain itu, pengadilan menunjukkan adanya kekurangan prosedural yang signifikan dalam persidangan Yalçınkaya. Termasuk tidak memberinya akses terhadap bukti atau mengizinkan pemeriksaan data secara independen.
ECHR juga mencatat pihak berwenang Turki menggunakan keanggotaan sah Yalçınkaya dalam serikat pekerja sebagai bukti yang memberatkannya, sehingga melanggar haknya atas kebebasan berkumpul dan berserikat berdasarkan Pasal 11 Konvensi Eropa. Keputusan tersebut memiliki implikasi yang lebih luas untuk kasus serupa di Turki, dan menekankan perlunya penegakan hukum yang selaras dengan standar hak asasi manusia Eropa.
Keputusan tersebut kemungkinan akan berdampak pada hukuman atau persidangan terhadap ribuan orang yang menghadapi tuduhan terorisme karena afiliasi mereka dengan gerakan Gulen, sebuah kelompok berbasis agama yang dituduh pemerintah Turki mendalangi kudeta yang gagal pada tahun 2016 dan ditetapkan sebagai organisasi teroris.
Gerakan ini dengan tegas menyangkal keterlibatannya dalam kudeta yang gagal atau aktivitas teroris apa pun. Putusan Yalçınkaya ini sangat berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya seperti yang menimpa pengusaha filantropis Osman Kavala dan pemimpin Kurdi Selahattin Demirtaş, yang fokus pada keputusan penahanan. Sebaliknya, kasus ini membahas manfaat hukuman.
Setelah upaya kudeta, pemerintah Turki menerima berbagai aktivitas seperti memiliki rekening di Bank Asya yang sekarang ditutup, menggunakan aplikasi kirim-pesan terenkripsi ByLock yang tersedia di App Store Apple dan Google Play; dan berlangganan harian Zaman atau publikasi lain yang berafiliasi dengan anggota gerakan tersebut sebagai tolok ukur untuk mengidentifikasi dan menangkap orang yang diduga pengikut gerakan Gulen atas tuduhan keanggotaan dalam organisasi teroris.
Lebih dari 130.000 pegawai negeri dipecat dari pekerjaannya dalam pembersihan besar-besaran yang diluncurkan oleh pemerintah Turki setelah upaya kudeta dengan alasan bahwa mereka memiliki hubungan dengan organisasi teroris. Yalçınkaya adalah salah satunya.
Dalam sidang besar di bulan Januari, pengacara Yalçınkaya, Johan Heymans dan Vande Lanotte, dalam pernyataan pembelaan mereka mengatakan penuntutan terhadap klien mereka merupakan tanda nyata adanya pelanggaran hak asasi manusia di Turki. Para pengacara mengatakan ByLock tersedia di Apple Store dan Google Play dan mengunduh aplikasi ini tidak akan membuat siapa pun menjadi penjahat.
Para pengacara juga mengatakan ada ribuan pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang mengunduh aplikasi ini tetapi belum menghadapi tuntutan apa pun.
ECHR menyatakan menyatakan penggunaan ByLock bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diputuskan pada bulan Juli 2021 dalam kasus mantan petugas polisi Tekin Akgün bahwa penggunaan aplikasi ByLock bukanlah pelanggaran itu sendiri dan tidak merupakan bukti yang cukup untuk melakukan penangkapan.
Namun, meskipun ada keputusan ECHR, penahanan dan penangkapan berdasarkan penggunaan ByLock terus berlanjut di Turki. Menurut pengacara Yalçınkaya, agen intelijen Turki MİT mengumpulkan informasi intelijen tentang pengguna ByLock secara tidak sah tanpa keputusan pengadilan, dan klien mereka menggunakan aplikasi tersebut untuk waktu yang singkat pada tahun 2015.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 311/1-f KUHAP dan Pasal 90 Konstitusi Turki, keputusan ECHR mengenai pelanggaran akan menjadi dasar untuk mengadili ulang Yalçınkaya. Jika bukti yang melanggar hukum diabaikan, kemungkinan besar akan terjadi pembebasan.
Turki kini menghadapi teka-teki hukum. Keputusan tersebut mengamanatkan bahwa keputusan tersebut harus dilaksanakan tidak hanya untuk Yalçınkaya tetapi untuk semua orang yang berada dalam situasi yang sama, suatu efek yang dikenal sebagai efek obyektif dari keputusan tersebut.
Keputusan ini diperkirakan akan mengarah pada serangkaian persidangan ulang dan potensi reformasi hukum yang signifikan di Turki. Jika tidak ditangani, hal ini dapat menempatkan Turki dalam tekanan finansial dan berdampak pada reputasinya di kalangan hak asasi manusia internasional.
Para pengamat mencatat bahwa pelaksanaan putusan ini harus diawasi oleh Komite Menteri Dewan Eropa, sehingga meningkatkan tekanan terhadap Turki untuk melakukan perubahan yang berarti.
Turki berada di peringkat 116 di antara 140 negara dalam indeks supremasi hukum yang diterbitkan oleh World Justice Project (WJP) pada Oktober 2022. Negara ini mengalami pembersihan lebih dari 4.000 hakim dan jaksa setelah upaya kudeta.
Pembersihan terhadap begitu banyak anggota sistem peradilan dipandang oleh banyak orang sebagai upaya Presiden Recep Tayyip Erdoğan untuk mendesain ulang sistem peradilan Turki dan mengisinya dengan hakim dan jaksa yang pro-pemerintah.
Setelah kudeta yang gagal, pemerintah Turki mengumumkan keadaan darurat dan melakukan pembersihan besar-besaran terhadap lembaga-lembaga negara dengan dalih perjuangan anti-kudeta.
Lebih dari 130.000 pegawai negeri, termasuk 4.156 hakim dan jaksa, serta 24.706 anggota angkatan bersenjata, dipecat dari pekerjaannya karena dugaan keanggotaan atau hubungan dengan “organisasi teroris” berdasarkan undang-undang darurat yang tidak tunduk pada peraturan yudisial maupun parlemen.
Menurut pernyataan Menteri Dalam Negeri saat itu Süleyman Soylu pada tanggal 5 Juli 2022, total 332.884 orang telah ditahan, sementara sekitar 101.000 lainnya telah dipenjara karena dugaan kaitannya dengan gerakan Gulen, sebuah kelompok berbasis agama yang dilarang oleh Ankara.
Soylu mengatakan sejak kudeta gagal terdapat 19.252 yang dipenjara karena dugaan memiliki hubungan dengan gerakan Gulen. Sementara sementara 24.000 lainnya masih buron.
Selain ribuan orang yang dipenjara, sejumlah pengikut gerakan Gulen lainnya harus meninggalkan Turki untuk menghindari tindakan keras pemerintah.
Beberapa dari orang-orang ini harus melakukan perjalanan ilegal dan berisiko dengan perahu ke Yunani karena paspor mereka telah dicabut oleh pemerintah.