REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menerima Israel ke dalam Program Bebas Visa (VWP) telah dikritik oleh kelompok hak asasi manusia, warga negara Amerika, dan anggota parlemen. Mereka menyatakan keprihatinan atas perlakuan tidak adil pemerintah Israel terhadap warga Amerika-Palestina di perbatasannya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri Alejandro Mayorkas mengumumkan pada Rabu (27/9/2023), bahwa mulai 30 November warga Israel masuk negara bebas visa hingga 90 hari. Keputusan ini menjadikan Israel negara ke-41 yang bergabung dengan program itu. Hak istimewa yang sama akan diberikan kepada warga Amerika ketika melakukan perjalanan ke Israel.
"Masuknya Israel ke dalam VWP mewakili langkah maju yang penting dalam kemitraan AS-Israel, termasuk keterlibatan antar masyarakat dan kerja sama ekonomi dan keamanan," kata Blinken dalam sebuah pernyataan.
Tapi, Warga AS dan warga Amerika Palestina dengan cepat menanggapi pengumuman tersebut dengan kemarahan. Mereka mengatakan, bahwa Israel terus mendiskriminasi terhadap warga Amerika-Palestina.
"AS mengizinkan Israel ikut dalam Program Bebas Visa meskipun faktanya program tersebut mendiskriminasi warga Amerika keturunan Palestina, sehingga merupakan sebuah olok-olok terhadap persyaratan untuk memperlakukan semua warga negara AS secara setara,” kata profesor di Georgetown University di Washington Josh Ruebner menulis di media sosial X.
Direktur eksekutif Jerusalem Fund yang berbasis di Washington Jehad Abusalim mengatakan, pemerintahan Joe Biden memberikan izin masuk kepada pemerintah paling sayap kanan Israel. Tindakan ini tampaknya mendiskriminasi warga negara AS berdasarkan identitas dan latar belakang mereka.
Berdasarkan aturan program bebas visa, setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua wisatawan AS, tanpa memandang tempat lahir, domisili, atau paspor apa pun yang mereka miliki. Kritik terhadap masuknya Israel ke dalam VWP menyoroti kurangnya timbal balik dalam program tersebut.
Para pengkritik mengatakan, bahwa Israel terus melakukan diskriminasi terhadap warga Amerika Palestina. Warga Amerika Palestina yang tinggal di Gaza masih memerlukan izin untuk memasuki Israel melalui penyeberangan Erez.
Sedangkan, menurut pejabat Kantor Urusan Palestina AS, bagi yang tinggal di Tepi Barat akan memerlukan persetujuan turis AS untuk masuk dan keluar Bandara Ben Gurion. “Warga Amerika Palestina yang tinggal di Gaza masih harus mengajukan permohonan izin keluar ke Israel. Timbal baliknya, perjalanan bebas visa tidak berarti bahwa sebagian orang Amerika harus dipaksa untuk mengajukan izin,” tulis Reubner.
Pada Juli, AS dan Israel menandatangani perjanjian yang menguraikan syarat-syarat bagi Israel untuk ikut serta dalam program tersebut. Mereka kemudian mengumumkan masa percobaan di mana warga Amerika keturunan Palestina akan diizinkan masuk melalui bandara internasionalnya.
Tapi, beberapa laporan media menyebutkan warga Arab-Amerika mengalami perlakuan buruk selama masa uji coba. Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab mengatakan, telah mengajukan gugatan federal terhadap Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri.
Dalam gugatan itu menyatakan, penyelidikan mereka menunjukkan bahwa Israel gagal memenuhi semua persyaratan hukum untuk masuk ke program tersebut.
Awal bulan ini dikutip dari Al Arabiya, sekelompok 15 senator Partai Demokrat menulis surat kepada Blinken. Tindakan ini dilakukan dalam upaya terakhirnya yang mendesaknya untuk tidak menerima Israel dalam program VWP.
Keputusan memasukan Israel ke dalam program ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pemerintah Israel sebelumnya mengalami ketegangan dengan AS atas dorongan untuk melakukan perombakan hukum di negara tersebut dan tindakan yang lebih keras terhadap warga Palestina di Tepi Barat.