Sabtu 30 Sep 2023 12:14 WIB

Indeks Gangguan Industri Tembakau Indonesia Capai Skor 84, Masuk Kategori Tinggi

Tingginya angka TII Index akan membuat upaya kurangi jumlah perokok sulit tercapai.

Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan.
Foto: www.freepik.com
Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan hasil survei tentang indeks gangguan industri tembakau pada 2023 di Indonesia menunjukkan Indonesia masih mencapai skor tinggi, yakni 84. Ini mengindikasikan tingginya campur tangan industri dalam kebijakan dan menunjukkan bahwa pemerintah masih berpihak kepada industri tembakau dengan mengorbankan kesehatan rakyatnya. 

Karena itu sejumlah pihak mendorong Pemerintah Indonesia lebih proaktif melindungi kesehatan masyarakat dengan mengambil langkah tegas mengurangi campur tangan industri tembakau, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan. Di antaranya dengan melarang donasi dari industri tembakau, melarang perwakilan industri tembakau menjadi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dan membatasi akses industri tembakau kepada para pengambil kebijakan. 

Baca Juga

Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau di suatu negara dan respon pemerintah terhadap campur tangan tersebut. Indeks mencakup tujuh area yang menggambarkan campur tangan industri tembakau dan di kembangkan pertama kali oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA). 

Sejak tahun 2015, sembilan negara ASEAN telah melakukan pemantauan dan membuat formula penghitungan seragam untuk mengukur indeks gangguan industri tembakau di masing-masing negara. Saat ini, perhitungan indeks gangguan industri tembakau dilakukan oleh 90 negara di dunia. Di Indonesia, pemantauan TII Index tahun 2023 dilakukan oleh RUKKI. 

Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mouhamad Bigwanto menjelaskan bahwa skor pada TII Index tahun 2023 dihitung berdasarkan data yang diambil pada April 2021 hingga Maret 2023. Hasil pantauan RUKKI menunjukkan dengan tegas bahwa industri tembakau di Indonesia sangat terlibat dalam pembentukan kebijakan dan mendapatkan berbagai bentuk dukungan dari pemerintah. 

Hal ini membuat upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia akan sulit tercapai, karena masalah inti, yaitu campur tangan industri rokok dalam kebijakan, belum diatasi. Selain itu, muncul kekhawatiran tentang adanya interaksi yang tidak perlu di antara pejabat pemerintah dengan industri tembakau, serta kurangnya transparansi atas interaksi yang terjadi tersebut.

”Campur tangan industri tembakau telah menjadikan komitmen pemerintah Indonesia sangat lemah dalam mengendalikan produk tembakau, khususnya, dalam upaya menekan pengaruh industri tembakau dalam pengambilan kebijakan terkait isu kesehatan.  Hal Ini berdampak pada tidak optimalnya upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui pengendalian produk tembakau, karena kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada industri,” kata Mouhamad, dalam Press Briefing bertajuk 'Refleksi Hari Demokrasi Internasional dan Peluncuran Laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau Tahun 2023 di Indonesia', yang diadakan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan Lentera Anak di Jakarta, Jumat (29/9/2023).

Hasil pemantauan oleh RUKKI semakin mengukuhkan posisi Indonesia yang selama lima tahun terakhir selalu menempati urutan tertinggi dari sembilan negara Asia Tenggara. Skor 84  pernah diperoleh Indonesia pada 2015, lalu berturut-turut meraih skor 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), 82 (2019), dan 83 (2020). Ini mencerminkan betapa mesranya hubungan pemerintah Indonesia dengan industri tembakau.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, sependapat dengan temuan RUKKI bahwa campur tangan industri tembakau di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan, namun juga masalah tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi, dan bebas dari konflik kepentingan dengan industri.

Menurut Agus, tingginya skor indeks gangguan industri tembakau tahun 2023 di Indonesia menegaskan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat.  

“Keberpihakan pemerintah terhadap industri tembakau telah mencederai komitmen pemerintah dalam menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, karena good governance menuntut keberpihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat luas, bukan pada segelintir pihak tertentu saja seperti industri tembakau,” tegas Agus.

“Padahal seharusnya target penurunan prevalensi perokok usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024 bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan SDM di dalam RPJMN 2020-2024,” tambah Agus. 

Sementara itu, Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menegaskan bahwa campur tangan industri tembakau untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia sangat terlihat dalam upaya penyusunan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tahun 2023-2027.

Menurut Lisda, sejumlah organisasi masyarakat sipil sejak tahun 2022 sudah menolak tegas penyusunan Rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau di Indonesia.

”Sebab, selain Rancangan Perpres tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau bertentangan dengan regulasi yang sudah ada, juga mencerminkan adanya konflik antara dua kepentingan yang tidak mungkin dipertemukan (unreconciled of interests). Dimana kedua kepentingan tersebut adalah kepentingan industri tembakau yang ingin meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau, dengan kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya menurunkan prevalensi konsumsi produk tembakau,” jelas Lisda.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement