REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam ilmu hadits, nama besar Imam Bukhari sudah tak asing. Karya-karya beliau banyak menginspirasi sarjana dan cendikiawan Muslim dunia hingga saat ini.
Sebenarnya, seperti apa kampung halaman asal Imam Bukhari? Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits mengatakan, salah seorang penulis kitab-kitab hadits adalah orang Arab, yakni Imam Malik bin Anas (kitabnya Al Muwatha). Sedangkan ulama hadits yang lainnya terletak dari negara-negara di daerah Transoxiana.
Transoxiana merupakan suatu daerah yang berada di antara Sungai Syrdarya dan Amudarya, baik warga pribumi asli atau hanya sekadar lahir di sana. Seperti Imam Al Qusyairi An Naisaburi untuk menekuni hadits Rasulullah SAW, padahal mereka berasal dari kaum dan bangsa yang berbeda-beda. Adapun Imam Bukhari berasal dari daerah Bukhara yang terletak di daerah Transoxiana.
Mohammad Nabiel dalam buku Al Bukhari dan Metode Kritik Hadis menjabarkan, nama Al Bukhari diambil dari daerah kelahiran beliau yang bernama Bukhara. Daerah ini masuk kawasan ma wara'a al nahr atau yang berada di luar sungai, sebab posisinya terletak di antara Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya.
Sementara orang barat sering menyebut tempat ini dengan nama Transoxiana. Kawasan ini dikenal dengan nama Transoxiana hanya bertahan hingga abad ke-7. Hal ini terjadi setelah orang-orang Arab menaklukkan kawasan tersebut di abad ke-8, yang kemudian mengubah nama mawasan itu menjadi na wara'a al nahr.
Kawasan ini terbilang cukup luas karena sebagian besar--untuk sekarang--meliputi Uzbekistan, sebagian selatan Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.
Sastrawan terkemuka dari Iran menjuluki Bukhara sebagai gudang pengetahuan. Bahkan secara khusus, penyair legendaris Jalaludin ar-Rumi menyanjung Bukhara lewat syair-syairnya. Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,” ungkap Rumi dalam puisinya.
Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni ‘bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’ an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.