Senin 02 Oct 2023 15:34 WIB

Kemenkop Ungkap Alasan Media Sosial Harus Dipisah dengan E-Commerce 

Social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang.

Rep: Iit Septyaningsih / Red: Friska Yolandha
Pedagang melakukan live promosi melalui media sosial di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Kamis (28/9/2023). social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang.
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang melakukan live promosi melalui media sosial di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Kamis (28/9/2023). social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah baru saja mengesahkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Regulasi baru itu salah satunya mengatur tentang pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce

Disebutkan, social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa. Pasal 21 Ayat 3 berbunyi, PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya.

Baca Juga

Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari menjelaskan tentang bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan. Ia menyebutkan, setidaknya ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan. 

Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna sehingga mereka diarahkan membeli produk tertentu tanpa mereka sadar. 

"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif. Itu berdasarkan data yang dipunyai," ujar dia lewat keterangan resmi, Senin (2/10/2023).

Kedua, dia melanjutkan, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu muncul terus menerus di media sosial pengguna.

Lalu, pada saat bersamaan mempersulit produk lokal muncul di media sosial. Manipulasi algoritma ini, kata dia, memungkinkan platform menguntungkan satu produk dan pada saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya. 

Ketiga, kata dia, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce. 

Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia. 

Keempat, kata Fiki, yaitu perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai tujuannya, karena media sosial tujuannya hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan. 

"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan diduplikasi. Ini sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," kata dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement