Selasa 03 Oct 2023 13:58 WIB

Nyamuk Kini Lebih Montok dan Sangar, Ternyata Ini Penyebabnya

Perubahan iklim adalah salah satu isu yang paling disorot saat ini.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
Nyamuk bisa menjadi satu-satunya spesies yang mendapat manfaat dari perubahan iklim/ilustrasi
Foto: www.freepik.com
Nyamuk bisa menjadi satu-satunya spesies yang mendapat manfaat dari perubahan iklim/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Krisis iklim diduga menjadi salah satu penyebab ukuran nyamuk saat ini yang dianggap menjadi lebih besar. Nyamuk bisa menjadi satu-satunya spesies yang mendapat manfaat dari perubahan iklim, karena cuaca yang lebih hangat dan basah yang menyertai pemanasan global menjadikan lingkungan ideal bagi hewan jenis serangga tersebut.

Para ahli penyakit yang ditularkan oleh nyamuk khawatir bahwa ketika suhu global terus meningkat, cuaca yang lebih hangat dan lebih lembap akan menjadi hal biasa di tempat-tempat baru.

Baca Juga

Sehingga menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat berkembang biak yang sempurna bagi populasi nyamuk. Ketika suhu memanas dan nyamuk bermigrasi, jangkauan nyamuk yang lebih luas dan masa hidup lebih lama memberi mereka peluang besar untuk menyebarkan penyakit di wilayah-wilayah baru di dunia.

Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk yang paling memprihatinkan di AS berasal dari Aedes aegypti, yang diketahui menularkan virus demam berdarah, virus demam kuning, virus chikungunya, dan virus Zika.

Perubahan iklim adalah salah satu isu yang paling disorot dan mungkin bermuatan politis. Hal ini diperkirakan akan membawa suhu yang lebih tinggi di wilayah yang sebelumnya beriklim sedang, cuaca yang lebih ekstrem, dan peningkatan banjir. Itu semua merupakan faktor yang mendorong peningkatan populasi nyamuk yang lebih besar dan lebih banyak berkeliaran untuk jangka waktu yang lebih lama.

Suhu rata-rata global telah meningkat sekitar dua derajat Fahrenheit (16,6 celcius) sejak akhir tahun 1800-an, dengan sebagian besar peningkatan terjadi selama 50 tahun terakhir.

Akibatnya, jumlah uap air di atmosfer meningkat sekitar satu hingga dua persen setiap dekade, menurut PBB.

Dr Photini Sinnis, Wakil Direktur Johns Hopkins Malaria Research Institute, mengatakan faktor utama bagi nyamuk dan umur panjangnya adalah kelembapan. Ketika gas rumah kaca memengaruhi atmosfer, suhu di bumi meningkat, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan penguapan dari sumber air di darat, termasuk danau dan sungai. Udara hangat menampung lebih banyak uap air.

Peningkatan uap air di atmosfer merupakan bagian dari putaran umpan balik karena uap air menyerap dan melepaskan kembali panas, menjadikannya gas rumah kaca yang paling melimpah.

Peningkatan kapasitas untuk menahan uap air memicu kejadian cuaca ekstrem, termasuk angin topan dan banjir bandang. Hal ini didukung oleh data, karena dalam lima tahun terakhir terjadi rata-rata 18 kejadian cuaca buruk setiap tahunnya, naik dari rata-rata 13 kejadian per tahun pada dekade antara tahun 2010 dan 2020.

Ketika bencana cuaca besar seperti badai ekstrem menjadi lebih sering terjadi akibat perubahan iklim, kondisi kehidupan yang ideal bagi nyamuk akan menjadi lebih umum. Hal ini dapat meningkatkan risiko yang ditimbulkan serangga ini terhadap masyarakat. 

Ketika air hujan akibat badai besar terkumpul di tempat sampah, ember, dan genangan air, tempat tersebut dapat menjadi sarang nyamuk, yang bertelur sekitar 100 telur sekaligus. Umur nyamuk jantan biasanya tujuh hingga 14 hari, namun nyamuk betina, yang merupakan satu-satunya nyamuk yang menghisap darah dan menularkan penyakit, hidup rata-rata enam pekan.

Variasi yang menjadi perhatian khusus AS adalah Aedes aegypti, yang diketahui menularkan virus demam berdarah, virus demam kuning, virus chikungunya, dan virus Zika. Varietas ini juga diketahui menyebabkan rasa gatal yang lebih tidak nyaman dibandingkan jenis lainnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement