Selasa 03 Oct 2023 18:55 WIB

'Pemerintah Perlu Atur Soal Risiko Pekerjaan Hilang Akibat Kemajuan Teknologi'

Hadirnya teknologi informasi telah mengubah cara bekerja kaum pekerja,

Teknologi kecerdasan buatan (AI) berkembang saat pesat. Saat ini AI berdampak pada beragam aspek kehidupan./ilustrasi
Foto: Pexels
Teknologi kecerdasan buatan (AI) berkembang saat pesat. Saat ini AI berdampak pada beragam aspek kehidupan./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kemajuan teknologi digital, seiring makin besarnya peran Artificial Intelligence (AI) pada dunia kerja dimana bisa berdampak banyaknya orang kehilangan pekerjaan meski berbagai jenis pekerjaan di masa depan bisa menghadirkan relasi kerja serta peluang kerja baru, terutama bagi generasi muda. Akan tetapi pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul pada masa depan banyak berbentuk hubungan kerja non-standar.

"Banyak pekerjaan baru yang belum diatur dengan baik di Indonesia dan rawan dieksploitasi. Belum lagi kemungkinan beberapa pekerjaan yang hilang akibat kemajuan teknologi," ucap peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM Nabiyla Risfa Izzati, dalam keterangan yang disampaikan pada wartawan, Selasa (3/9/2023), menyampaikan hasil diskusi bertajuk 'Masa Depan Dunia Kerja yang Berkeadilan di Era Digital'.

Ia menekankan perlunya adaptasi ranah hukum Indonesia dalam menjamin dan melindungi masa depan dunia kerja nasional. Penting bagi para pekerja dalam memahami cara menghadapi pekerjaan masa depan, terutama tentang hak dan kewajiban kita dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.

Anggota Serikat Pekerja Fisipol UGM Suci Lestari Yuana, mengakui hadirnya teknologi informasi telah mengubah cara bekerja kaum pekerja, termasuk di lingkup universitas. Tidak sebatas untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pekerjaan, namun digitalisasi juga berdampak pada hak-hak, kondisi kerja, dan perlindungan pekerja.

Ia menceritakan pada 1 September lalu, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM resmi mendirikan Serikat Pekerja Fisipol (SPF) untuk melindungi hak-hak pekerja sekaligus memperjuangkan kesejahteraan pekerja di lingkungan kampus. Menurut Suci, SPF menjadi salah satu serikat pekerja pertama di UGM, dan harapannya dapat menjadi pionir dari terbentuknya serikat-serikat pekerja lainnya di lingkungan kampus ini.

Bagi Suci, pada masa sekarang, pola pikir bekerja didominasi oleh technological determinism. Contohnya, dunia pendidikan mulai dikendalikan oleh platform governance, seperti aplikasi Simaster UGM dan Sister Ristekdikti, platform Sinta, situs Scopus, dan masih banyak lagi. "Akibat dari digitalisasi, terdapat efek samping yang eksis dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai pekerja, seperti turunnya kepercayaan, alienasi, dehumanisasi, eksploitasi pekerja, dan lain-lain," kata Suci.

Suci berharap dengan adanya serikat ini seluruh pekerja di lingkungan Fisipol UGM memiliki posisi tawar di hadapan pemegang kebijakan pendidikan, mencakup birokrasi kampus dan kebijakan pemerintah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement