REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menghadiri pesta pernikahan bisa menjadi momen yang menyenangkan. Sebab, kita bisa memberi ucapan selamat secara langsung serta mendoakan pernikahan mereka.
Lalu bagaimana hukumnya dalam Islam jika Muslim dan Muslimah menghadiri pernikahan di rumah ibadah agama lain? Apakah kita boleh datang?
Founder Halal Corner Aisha Maharani mengatakan, para ulama menyepakati bahwa masuk ke dalam rumah ibadah agama lain pada saat umat lain sedang menjalankan ritual agama hukumnya haram. Sedangkan, bila di dalam rumah ibadah itu sedang tidak ada ritual agama, para ulama berbeda pendapat.
“Sebagian memakruhkan, sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan secara mutlak,” ujar Aisha kepada Republika.co.id, Senin (2/10/2023).
Jika dalam pernikahan itu dilakukan ritual keagamaan, Aisha mengatakan haram hukumnya Muslim dan Muslimah hadir di sana. “Agar menghindari keharaman ini, cukup datang di waktu resepsi saja,” katanya.
Dilansir Republika pada Selasa (3/10/2023), perihal hukum seorang Muslim yang masuk ke rumah ibadah umat lain, ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok pendapat yakni makruh, boleh secara mutlak, namun makruh jika melakukan sholat di dalamnya, dan haram jika ada patungnya, dan harus dengan izin. Pendapat mazhab Hanafi, mereka berpandangan bahwa memasuki tempat ibadah agama lain tidak diharamkan sama sekali. Hanya saja makruh. Makruh bukan karena tidak boleh masuk, tetapi dimakruhkan.
Pendapat kedua boleh secara mutlak. Ini pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama dari madzhab Maliki dan Syafi’i juga Hanbali. Tidak ada larangan untuk memasuki tempat ibadah agama lain.
Namun makruh hukumnya jika melakukan sholat di situ. Sebenarnya dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal punya tiga riwayat terkait sholat rumah ibadah lain, boleh tidak ada kemakruhan sebagaimana hukum memasukinya, makruh melakukan sholat di dalamnya, dan dibedakan antara rumah ibadah yang ada patungnya atau tidak, kalau ada patungnya maka sholatnya makruh, kalau tidak ada maka boleh-boleh saja.
Kesemua riwayat ini diceritakan oleh Imam Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah, akan tetapi yang menjadi pendapat mazhab Hanbali sebenarnya ialah pendapat boleh masuk dan boleh juga sholat tanpa kemakruhan, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Buhuti dalam Kasysyaful-Qina. Namun berbeda hukumnya jika pernikahan terdapat ritual agama di dalamnya. Pernikahan walaupun bukan hari raya agama tertentu, akan tetapi di dalam pernikahan terdapat ritual agama yang menjadi simbol khusus keagamaan mereka.
Di dalamnya terdapat pengagungan dan pembaktian kepada Tuhan yang mereka yakini. Jadi sama seperti hari raya yang di dalamnya ada simbol agama, pernikahan yang didahului biasanya dengan ritual agama pun mestilah terdapat simbol-simbol agama tersebut. Syariah melarang kita untuk ikut dan menghadirinya.
Ini juga yang disebut oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya, Ahkam Ahli Dzimmah, ketika menjelaskan tentang hukum menghadiri perayaan ibadah orang non Muslim, yang beliau sebut sebagai keharaman yang disepakati oleh seluruh ulama. Selain apa yang diriwayatkan dari sayyidina Umar tentang turunnya murka Allah SWT pada perayaan ritual semacam itu:
Dalam Alquran Surah Al Furqan ayat 72 disebutkan:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
"Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya".