Rabu 04 Oct 2023 18:32 WIB

Pembatasan Pendidikan bagi Muslim Inggris Sedang Diperketat

Para ahli di Inggris saat ini mengeluarkan peringatan bagi Muslim setempat.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Orang-orang Shalat di Masjid London Timur & Pusat Muslim London di London timur, Inggris, Rabu (14/4). Untuk kegiatan Ramadhan, setelah bulan suci harus diamati selama pembatasan virus korona tahun lalu tanpa pertemuan doa komunitas biasa,
Foto: Harun Chown / PA melalui AP
Orang-orang Shalat di Masjid London Timur & Pusat Muslim London di London timur, Inggris, Rabu (14/4). Untuk kegiatan Ramadhan, setelah bulan suci harus diamati selama pembatasan virus korona tahun lalu tanpa pertemuan doa komunitas biasa,

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Para ahli di Inggris saat ini mengeluarkan peringatan bagi Muslim setempat. Sekolah, perguruan tinggi, dan institusi pendidikan tinggi disebut sedang memperketat pembatasan terhadap umat Islam.

Dalam penjelasannya baru-baru ini, lembaga NGO Prevent Watch mengatakan, institusi pendidikan tengah menerapkan rekomendasi dari Shawcross Review. Hal ini mendukung fokus pada “ekstremisme Islam” daripada ekstremisme sayap kanan.

Baca Juga

Profesor Universitas Nottingham, John Holmwood, mengatakan, lembaga-lembaga pendidikan kini berada di bawah kendali yang lebih terpusat dari Kementerian Dalam Negeri. Langkah ini secara efektif menunjukkan peningkatan pemantauan dan perluasan pengawasan.

"Kita bisa memprediksi ke depan penekanan yang lebih besar pada komunitas Muslim dan siswa, serta pelajar berlatar belakang Muslim,” kata dia dikutip di 5 Pillars UK, Rabu (4/10/2023).

Pada awal tahun ini, sebuah tinjauan independen terhadap Prevent dilakukan oleh ideolog sayap kanan William Shawcross. Ia mengatakan batasan yang ada saat ini, mengenai apa yang disebut oleh Prevent sebagai ideologi Islam ekstremis dibuat terlalu sempit, sementara batasan di sekitar ideologi kelompok sayap kanan ekstrim terlalu lebar.

Ia juga mengatakan bahwa pihak berwenang harus mengatasi ekstremisme Islam tanpa kekerasan, yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi terorisme.

Ulasan yang ia buat jelas dikecam oleh organisasi-organisasi Muslim. Shawcross ditufuh mempromosikan pendekatan garis keras, untuk mendukung hukum otoriter yang didasari dengan mengeksploitasi prasangka anti-Muslim.

Prevent Watch lantas mengatakan bahwa orang tua, siswa dan guru harus mengantisipasi sejumlah hal, seperti:

1. Memperbanyak rujukan umat Islam kepada Prevent;

2. Peningkatan pengawasan terhadap mahasiswa aktif politik yang berbeda pendapat;

3. Pembaruan pelatihan bagi guru yang tidak terlalu menekankan sayap kanan dan rasisme;

4. Lebih menekankan pada “Islamisme” yang secara samar-samar dipahami sebagai “Islam politik";

5. Para pendidik harus melampaui apa yang diwajibkan, karena takut diremehkan dalam safeguarding; dan

6. Lebih banyak campur tangan terhadap acara-acara dan kebebasan beragama dan berbicara di universitas.

Editor The Prevent Digest, Dr Rob Faure Walker, mengatakan program Prevent yang ada dicanangkan otoritas UK mempunyai dampak buruk terhadap kebebasan berpendapat di sekolah.

“Saat saya mengajar, saya selalu melakukan diskusi politik yang kuat, panas, dan saling menghormati, terutama dengan remaja yang bekerja bersama saya. Hal ini merupakan hal mendasar dalam bekerja sebagai guru di negara demokrasi karena anak-anak perlu berlatih bermain dengan beragam pandangan," kata dia.

Walker menyebut sekolah harus menyediakan ruang yang aman untuk menyebarkan berbagai jenis pandangan, bahkan pandangan radikal. Menurut dia, hal itulah cara mempraktikkan demokrasi.

Dia juga menambahkan bahwa setelah Prevent ini diperkenalkan, anak-anak yang diasuhnya berhenti melakukan percakapan politik.

Menanggapi hal ini, Direktur Prevent Watch Dr Layla Aitlhadj mengatakan, sepertiga dari rujukan ke Prevent berasal dari sektor pendidikan atau sekitar 2.000 setiap tahun. Pengawas pendidikan Ofsted berhak menurunkan peringkat sekolah jika dianggap gagal mengatasi radikalisasi.

"Banyak rujukan ke Prevent yang salah arah. Para siswa dianggap mengkhawatirkan, hanya karena mengekspresikan pandangan normatif Islam atau posisi politik yang tulus," ujar dia.

Beberapa sekolah disebut menerapkan Prevent secara berlebihan, dengan meminta orang tua menandatangani kontrak yang mengikat. Siswa dan orang tua bahkan diminta untuk memerangi ekstremisme dan mempromosikan “nilai-nilai Inggris".

"Bagi pelajar muda Muslim akan ada lebih banyak rujukan yang salah informasi. Mereka akan 'dibenarkan', dengan mengatakan ada fokus ulang pada 'ekstremisme Islam', meskipun rujukan tersebut pada akhirnya merupakan tindakan yang sangat bias dan diskriminatif oleh siapa pun yang membuatnya," lanjut Layla.

Mengenai bagaimana Muslim harus memerangi pembatasan yang semakin meningkat di sekolah, para ahli mengatakan umat Islam harus bangga dengan nilai-nilai mereka dan bersedia menantang sekolah, perguruan tinggi, bahkan lembaga pendidikan tinggi.

Dr Aitlhadj menyebut dari sudut pandang siswa dan orang tua, mereka harus lebih menantang dan orang tua harus membela anak-anak mereka, dalam menghadapi apa pun di sekolah.

“Jadi, jika orang tua mendapat penolakan dari pihak sekolah, daripada berdiam diri dan berhenti menjalankan keyakinan mereka atau mengungkapkan pandangan politik, mereka harus benar-benar memberikan penolakan terhadap pihak sekolah. Bisa juga dengan memastikan bahwa orang tua bersatu, terutama di tingkat menengah," kata dia.

Di sisi lain, John Holmwood menyimpulkan tidak ada alasan untuk merasa malu karena mempunyai pandangan politik tertentu, atau tertarik pada persoalan politik, baik dalam negeri maupun internasional. Bahkan, ia menyebut tidak ada rasa malu terkait nilai-nilai normatif Islam.

Sebagai tambahan informasi, program Prevent merupakan kewajiban hukum yang dibebankan kepada pekerja sektor publik pada tahun 2015. Hal ini berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Kontraterorisme dan Keamanan.

Kewajiban ini mengharuskan semua pekerja sektor publik, mulai dari guru hingga dokter, memperhatikan kebutuhan dan mencegah orang-orang terseret ke dalam terorisme.

Sebelum ditetapkan sebagai kewajiban hukum, Prevent adalah kebijakan yang diperkenalkan pada 2003 oleh Pemerintahan Partai Buruh saat itu.

Tugas Prevent memiliki sejarah yang unik, karena Inggris belum pernah melatih para pendidik, petugas medis dan profesional perawatan sosial, untuk mendeteksi orang-orang yang mungkin terlibat dalam terorisme. Prevent juga beroperasi dalam ruang pra-kejahatan, dengan logika bahwa suatu tindakan dapat dicegah sebelum seseorang berniat melakukannya.

Meskipun Prevent sering disebut oleh pemerintah sebagai bagian penting dari perangkat untuk mencegah terorisme, namun tidak ada bukti hal tersebut berhasil. Selain itu, ilmu pengetahuan yang mendasari faktor kerentanannya telah banyak menuai kritik.

Selain itu, konsep seputar “radikalisasi”, definisi seputar “ekstremisme” dan bagaimana ide-ide ini terkait dengan tujuan Prevent untuk mencegah terorisme, tidak pernah dijelaskan secara lengkap. Bahkan, hal ini juga tidak dipahami oleh mereka yang diharapkan melaksanakan tugas deradikalisasi.

Sumber:

https://5pillarsuk.com/2023/10/03/prevent-watch-restrictions-on-muslims-in-education-are-being-tightened/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement